Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Amerika Latin: Gerakan Sosial, Revolusi Sosial, dan Romantisme Perjuangan

25 November 2024   19:30 Diperbarui: 25 November 2024   19:33 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh JosephQiuArt dalam DeviantArt (Creative Commons License)

Bahkan, tidak hanya itu, Amerika Latin juga terkenal dengan gerakan damainya, yang berupa gerakan-gerakan kebudayaan. Salah satunya adalah gerakan Nyanyian Baru (La Nueva Cancin). Gerakan ini lahir di Chile pada 1960-an dan dipelopori oleh seniman multitalenta, seperti Violeta Parra dan Victor Jara. Dua artis lainnya yang terkenal dan lahir dari gerakan Nyanyian Baru ini adalah Quilapayn dan Inti-Illimani.

Gerakan La Nueva Cancin menjadikan musik sebagai fasilitator atau wadah dalam menyampaikan protes-protes terhadap ketidakadilan sosial, politik, bahkan ekonomi. Lagu-lagu yang diusungnya pun berisikan tema-tema, seperti anti-kolonialisme, anti-kediktatoran, anti-imperialisme, dan mendukung sosialisme-demokratis. Tak hanya seni dan lagu yang mereka sumbangsihkan dalam pergerakan, tetapi mereka memobilisasi dukungan terhadap calon-calon politik yang mendukung reformasi sosial dan politik di Chili. Oleh karena itu, gerakan ini mendapatkan represifitas aparat yang keras setelah kudeta militer pada 11 September 1973 di bawah pimpinan Jenderal Pinochet, yang berkuasa dengan dukungan imperialisme AS. Banyak musisi yang terlibat dalam La Nueva Cancin mengalami penindasan, dan beberapa terpaksa hidup dalam pengasingan.

Ada pula, gerakan Penyadaran (Concientizao) ala Paulo Freire di Brasil. Gerakan ini menekankan pada pendekatan sosial dan politik kepada manusia dan kelompok-kelompoknya untuk memahami kondisi sosial dan politik yang mereka hadapi, dengan penekankan yang lebih tajam dan konkret dalam hal mewujudkan perubahan sosial melalui proses pemahaman dan aksi-aksi nyata. Gerakan ini mengambil ide sebagai dasarnya, bahwa kesadaran manusia yang jauh lebih mendalam terhadap situasi penindasan yang ia hadapi, akan menggugah manusia tersebut untuk mengambil tindakan nyata dalam mengubah struktur sosial yang menindas tadi.

Demikian juga, tentu saja terdapat gerakan Teologi Pembebasan (Teologia de la Liberacion) yang dirintis oleh Padre Gustavo Gutierrez di Peru. Gerakan Teologi Pembebasan inilah yang pernah berhasil mempersatukan semangat perlawanan di tengah-tengah gerakan sosial ataupun perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan. Gerakan Teologi Pembebasan, bagaimanapun juga, pernah berhasil mendamaikan dua kutub yang sangat diametral, yaitu gerakan Marxisme yang anti-Agama dengan agama Katolik yang begitu dekat dengan aspek ketuhanan.

Maka tak perlu heran, apabila di Amerika Latin saat periode Perang Dingin terdapat gerakan-gerakan sosial yang digerakkan oleh umat Katolik yang taat berjuang bersama-sama kaum "kiri" untuk melawan kekuasaan yang zalim dengan berlandaskan ideologi kiri. Di sisi lainnya, kaum Marxis Amerika Latin saat itu pun sadar dan tahu betul bahwa agama---khususnya Katolik sebagai mayoritas---adalah kenyataan-objektif, serta menyadari pula bahwa di dalam nilai-nilai agama Katolik terdapat semangat reformis, bahkan revolusioner.

Poin utama yang menjadikan landasan persamaan di antara keduanya dalam bergerak menentang kekuasaan zalim adalah sama-sama mengetahui "kewajiban" dan "keharusan", bahwa keduanya harus dan wajib berpihak pada kaum miskin dan mereka yang termarjinalkan (de opcion preferencial por los pobres y excluidos).

Dalam gerakan Teologi Pembebasan tersebut, teologi bukan hanya membahas refleksi teoretis, tetapi juga tentang melakukan tindakan yang mengarah pada transformasi sosial. Teologi harus mendorong dan membentuk komitmen masyarakat---khususnya Negara---terhadap isu-isu keadilan, pembebasan, dan penghormatan seluruh ciptaan Tuhan. Dengan mencontoh Yesus, Gutirrez menjelaskan bahwa yang diperlukan oleh umat adalah transformasi yang mendalam, baik secara pribadi maupun komunal. Transformasi ini melibatkan perbaikan dalam hal mental dan struktur sosial lama yang terus-menerus memelihara ketidakadilan dan penderitaan bagi umat Katolik.

Meskipun dampak Teologi Pembebasan terhadap struktur sosial dan politik masih dapat diperdebatkan dan terdengar jarang berhasil, signifikansi utamanya terletak pada kemampuannya untuk menginspirasi dan menantang gereja supaya bisa lebih bersikap selaras dan adil dengan mereka yang tertindas. Ajakan untuk selalu mengingat dan bertindak dalam solidaritas humanity akan tetap menjadi tantangan yang penting dan transformatif bagi gereja-gereja masa kini.

Referensi:

Guardado, Leo. "50 years later, Gustavo Gutierrez's 'A Theology of Liberation' remains prophetic." America: The Jesuit Review, 17 Agustus 2023. https://www.americamagazine.org/faith/2023/08/17/theology-liberation-gustavo-gutierrez-245850.

Hartono, Rudi. "'Tidak ada Revolusi tanpa Lagu-Lagu.'" Berdikari Online, 6 November 2019. https://www.berdikarionline.com/mengenal-gerakan-nyanyian-baru/.

Hs, Lilik. "Chiapas." IndoProgress, 17 Februari 2013. https://indoprogress.com/2013/02/chiapas/.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun