Kabinet Natsir merupakan upaya strategis untuk memperkuat ekonomi pribumi melalui pengonsolidasian industri perkotaan dengan industri-industri kecil di perdesaan. RUP bertujuan untuk memperkuat posisi pengusaha pribumi yang lemah dalam menghadapi dominasi pengusaha keturunan Tionghoa dan asing. Program ini diwujudkan dalam "Program Benteng," yang memberikan hak istimewa dan kredit kepada pengusaha pribumi untuk memacu pertumbuhan kelas pengusaha nasional. Meskipun RUP ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli Rakyat dan mengatasi pengangguran di perdesaan, program ini lebih berfokus pada redistribusi pendapatan negara daripada peningkatan produksi dalam negeri.
Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang dirancang oleh Soemitro Djojohadikoesoemo pada masaNamun, kebijakan teknokratis ini menghadapi kritik karena tidak menekankan pada tujuan antikolonial, yang diinginkan oleh banyak rakyat. RUP juga bertujuan untuk melaksanakan pribumisasi dalam saham dan administrasi perusahaan asing, dengan tujuan jangka panjang membangun industri padat karya yang berakar di perdesaan. Upaya ini diharapkan dapat menekan gejolak politik di daerah akibat kesenjangan dan pengangguran, serta membuka jalan bagi pembentukan industri-industri besar yang menopang perekonomian nasional.
Kritik pun datang dari Sjafruddin Prawiranegara terhadap program yang dicanangkan oleh Soemitro. Menurut Sjafruddin, program Soemitro sangat mengabaikan struktur perekonomian masyarakat Indonesia yang saat itu masih bercorak masyarakat agraria. Dalam masyarakat agraria yang cenderung ke arah pertanian tradisional, Rakyat Indonesia belum memadai secara skill untuk mengelola administrasi perusahaan. Oleh karena itulah, Sjafruddin menilai bahwa RUP tidaklah cocok untuk diterapkan dalam struktur masyarakat Indonesia.
Berbeda dengan Soemitro, Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Natsir, lebih mengutamakan pengadaan beras untuk kebutuhan nasional, dengan diseimbangkan pengadaan-pengadaan persawahan baru yang akan dikelola Rakyat. Yang ingin diterapkan Sjafruddin adalah pengarusutamaan pertaniaan dan fasilitas-fasilitasnya terlebih dahulu. Setelah sektor pertanian sudah baik, maka pemerintah dapat melakukan program perekonomian yang bercorak industrialisasi.
Sjafruddin juga menjelaskan bahwa pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur dalam urusan perekonomian nasional, tetapi dengan catatan tidak ikut campur "selama perusahaan swasta/asing dapat memberikan kebaikan terhadap kondisi sosial-ekonomi Rakyat." Selain itu, Sjafruddin juga memandang bahwa sektor penanaman modal asing pun harus menjadi perhatian utama pemerintah, sebab industri nasional belum maksimal dibangun. Namun demikian, Sjafruddin menggarisbawahi bahwa apabila industri nasional telah dibangun, penanaman modal asing bisa diberhentikan.
Sikap Sjafruddin tersebut mencerminkan sikap Partai Masyumi, yang mana Partai Masyumi menekankan kepada "pentingnya penanaman modal asing bagi pembangunan ekonomi Indonesia." Modal asing pun nantinya tetap dapat diawasi oleh pemerintah melalui peraturan perundang-undangan, sementara pembangunan industri nasional juga terus dilakukan. Nasionalisasi perusahaan swasta/asing tidak akan efektif, menurut Sjafruddin. Hal itu disebabkan nasionalisasi perusahaan swasta/asing dengan kondisi kemampuan produksi yang lemah dan tingkat manajemen yang rendah hanya akan mendatangkan kerugian dan tak ada gunanya.
Kritik lainnya dari Sjafruddin Prawiranegara adalah ketidakjelasan RUP dalam menentukan aspek utama dalam pembangunan industri dan perekonomian nasional. Oleh karena, menurut Sjafuddin, posisi pengusaha Tionghoa tidak dapat dikategorikan sebagai modal nasional.
Kedua orang ekonom yang ada dalam Kabinet Natsir, baik Soemitro maupun Sjafruddin Prawiranegara, seolah-olah bertolak belakang dalam segi pemikiran. Akan tetapi, kedua orang ekonom itu memiliki banyak kesamaan daripada perbedaan. Kesamaan keduanya dapat dilihat dari segi pragmatisme yang dituangkan dalam program perekonomian masing-masing untuk masa mendatang negara Indonesia dan Rakyatnya.
Soemitro pun menjawab kritikan Sjafruddin,Â
"... pada saat ini, yang dibutuhkan bukanlah perbedaan-perbedaan dalam pandangan, tetapi adalah satu kerja sama antara pemegang kebijakan keuangan dan ekonomi sehingga program perbaikan ekonomi bisa jalan."
Akan tetapi, program kabinet Natsir ini tidak bisa berjalan, sebab Perdana Menteri Natsir menyatakan mundur dari jabatannya di tengah jalan. Salah satu faktor yang menyebabkan jatuhnya Kabinet Natsir adalah kegagalan pelaksanaan Rencana Soemitro, yang tidak dapat dijalankan dengan efektif. Banyak pengusaha pribumi yang menerima bantuan kredit dari pemerintah, justru menyalahgunakannya, sehingga tujuan program tersebut tidak tercapai maksimal. Selain itu, upaya diplomasi terkait masalah Irian Barat mengalami kebuntuan dan juga tidak berhasil. Kabinet Natsir juga menghadapi masalah keamanan, dengan banyaknya pemberontakan yang terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia. Beberapa gerakan kedaerahan, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS, turut memicu jatuhnya kabinet ini, yang pada hakikatnya terdapat kaitan dengan problem ekonomi yang tidak dapat diselesaikan. Akhirnya, Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno pada 21 Maret 1951.