Revolusi Nasional Indonesia. Meskipun, Pusat Tenaga Ekonomi Bangsa Indonesia (PTE) dibentuk sebelum proklamasi untuk menjembatani kepentingan pedagang bumiputra dengan negara, organisasi ini tidak berhasil menjalankan tugasnya karena situasi revolusioner pasca-Proklamasi. PTE pun akhirnya dibubarkan pada tahun 1947. Selanjutnya, Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE) yang dibentuk pada tahun 1947, dengan Hatta sebagai ketua, berfokus pada pengelolaan aset ekonomi, diplomasi, dan persiapan pembentukan Negara Indonesia Serikat (RIS). Namun, rencana PPSE tidak dapat dilaksanakan secara efektif karena Indonesia belum mendapatkan kedaulatan penuh dan terikat dengan syarat ekonomi yang merugikan dari Konferensi Meja Bundar, sehingga cita-cita perombakan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional tidak terealisasi.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, perekonomian tidak berkembang sehingga tidak menciptakan borjuasi nasional, dan kondisi ini diperburuk oleh pendudukan Jepang yang singkat tapi melelahkan. Hal ini menjadi latar belakang penyusunan program perekonomian dan pembangunan pada masaProgram perekonomian yang ada pada masa Revolusi tidaklah hanya dari pemerintah saja, tetapi program perekonomian juga pernah diajukan oleh Sayap Kiri. Sayap Kiri sendiri adalah dua kubu yang secara ideologis menjadi oposisi terhadap program pemerintah, yaitu kubu Tan Malaka dan Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Program Gerpolek Tan Malaka
Tan Malaka yang kemudian dikenal sebagai tokoh revolusioner pengelana ini mempunyai visi politik dan ideologis berupa Kemerdekaan 100%. Tan Malaka menentang program pemerintah dalam hal perekonomian yang sangat berkompromi dengan modal asing dan, khususnya, modal Belanda.
Dalam karyanya, Gerpolek, yang ditulis Tan pada saat dirinya mendekam dip penjara Madiun (1948), menegaskan bahwa perbaikan perekonomian dapatlah dilakukan oleh bangsa Indonesia secara mandiri. Bangsa Indonesia dapat meningkatkan perekonomian negara dengan cara perencanaan produksi, distribusi, dan pertukaran barang di antara Rakyat Indonesia. Nantinya, kekuatan buruh dan tani adalah pihak yang akan memainkan peranan signifikan dalam hal produksi dan distribusi.
Tan melihat bahwa sumber penyakit perekonomian Indonesia adalah kapitalisme Belanda selama 350 tahun menjajah Indonesia dan kapitalisme-fasisme Jepang selama 3,5 tahun menduduki Indonesia. Dengan demikian, Tan menolak sepenuhnya cara-cara peningkatan ekonomi yang bersumber pada program kerja sama dengan modal asing dan khususnya modal Belanda.
"Rencana semacam itu akan menjadi rencana kekuatan modal asing. ... itu hanya akan menjadi kuda tunggangan kekuatan modal asing," tulis Tan Malaka dalam Gerpolek. Rencana perekonomian Rakyat Indonesia barulah dapat diselenggarakan setelah Indonesia menerima kemerdekaan sepenuhnya atau kemerdekaan 100%. Pada saat itu, 60% Rakyat Indonesia akan memiliki dan menguasai produksi, distribusi, upah, ekspor, dan impor.
Tan Malaka juga menilai bahwa perekonomian adalah sama dengan peperangan. Layaknya peperangan politik, maka strategi peperangan dalam hal ekonomi adalah harus ditujukan untuk meraih kemerdekaan 100%. Tan menyebutkan dua prinsipiel yang harus ada dalam strategi bangsa Indonesia saat "Perang Ekonomi" untuk meraih kemerdekaan 100%, yaitu:
1)Mengambil sikap dan tindakan dalam ekonomi, yaitu dalam produksi, distribusi, dan lain-lain, untuk merugikan ekonomi Belanda.
2)Mengambil sikap dan tindakan dalam ekonomi yang menguntungkan Rakyat yang sedang melaksanakan Revolusi.
Program dari Front Demokrasi Rakyat
Sedikit berlainan dengan Tan, FDR menekankan bahwa permasalahan perekonomian Indonesia adalah terletak pada permasalahan agraria. FDR menilai bahwa program yang diperlukan Indonesia adalah revolusi sektor agraria untuk menghancurkan sisa-sisa feodalisme di Indonesia.
"Politik pemerintah dianggap reaksioner dan menjadi ancaman bagi kaum tani yang sedang bergerak untuk menghilangkan segala sisa feodalisme di lapangan agraria."
FDR mengusung program "tanah untuk kaum tani". Hal ini ditujukan supaya kaum tani dapat merasakan hasil baik dari Revolusi demi perbaikan nasibnya. Namun demikian, jumlah tanah yang masih sempit ini, maka tanah-tanah nantinya akan diserahkan kepada desa per desa. Kemudian, desalah yang akan mengatur pengelolaan dan pembagiannya, dengan buruh tani di tiap-tiap desa tersebut yang akan membantu penggarapannya.
Penutup
Semua program Sayap Kiri, baik dari Tan Malaka maupun FDR, sama-sama tidak pernah terealisasi. Tan Malaka yang hilang pada tahun 1949 sampai sekarang dan FDR yang dibasmi oleh pemerintah akibat dugaan keterlibatannya dalam Madiun Affairs 1948 adalah penyebabnya. Sayap Kiri kemudian baru tumbuh kembali pada tahun 1950-an. Partai Komunis Indonesia di bawah pimpinan D. N. Aidit-lah yang meneruskan Sayap Kiri. Partai ini berhasil menduduki peringkat ke-4 di perolehan suara dalam Pemilihan Umum 1955 dan mendukung ide demokrasi terpimpin Sukarno. Sejak saat itu partai ini segera menjadi representasi Sayap Kiri dalam kancah perpolitikan dan perekonomian nasional, setelah FDR dan Tan Malaka menghilang.