Tan Malaka memang sudah giat menuliskan risalah-risalah. Salah satu yang paling ciamik adalah karyanya pada saat Revolusi yang ia tulis pada saat dirinya mendekap di penjara pemerintah yang ia bela. Tan Malaka menuliskan rumusan untuk mempertahankan Republik pada masa Revolusi dengan cara-cara kemiliteran, kegerilyaan, dan lain-lain. Tan memberikan judulnya, "Gerpolek."
Dalam masa perjuangannya---dan pengelanaannya ke negara-negara lain---Gerpolek sendiri adalah perpaduan awalan dalam suku kata, di antara kata Gerilya, Politik, dan Ekonomi. Bagi Tan Malaka, Gerpolek merupakan senjata yang dapat digunakan oleh pemuda, laskar, tentara, dan gerilyawan Republik yang ingin mempertahankan Proklamasi 17 Agustus demi terwujudnya kemerdekaan sepenuhnya (Merdeka 100%).
Maksud Tan Malaka sendiri adalah untuk membereskan problem-problem kebangsaan, dan khususnya kemerdekaan, yang terjadi akibat politik kompromi dalam diplomasi-berunding. Indonesia yang pada saat ia menulis risalah Gerpolek sedang mengalami kemunduran-kemunduran, bahkan Tan menyebut kondisi Indonesia, "... yang sekarang sudah merosot ke bawah 10% itu."
Penilaian Tan ini bukanlah penilaian mentah. Kalau kita melihat kembali sejarah, Indonesia pasca-Linggarjati, ditambah dengan dua agresi Belanda, dan Renville, benar-benar terpojok oleh politik Belanda. Indonesia mendapatkan momentumnya kembali pasca-Agresi II, di mana Indonesia berhasil memutarbalikkan keadaan dalam diplomasi dengan keunggulan Indonesia di internasional. Hal ini pun adalah berkat dari Amerika Serikat yang akhirnya memberikan respeknya kepada Indonesia.
Berbeda dengan cara-cara di atas, yang mana digunakan oleh pemerintah dan berhasil mendapatkan penyerahan kedaulatan dalam KMB pada tahun 1949, Tan Malaka ingin terus melawan Belanda dan tanpa kompromi dengan mereka. Belanda adalah penjajah yang ingin merampas hak milik bangsa, sehingga, menurut Tan, tidak pantas bagi kita untuk bernegosiasi pada "maling" di rumah kita.
Maka lahirlah Gerpolek ini. Gerpolek yang ditujukan oleh Tan Malaka kepada para putra atau putri bangsa Indonesia, pemuda atau pemudia bangsa Indonesia, Murba atau Murbi Indonesia, yang taat dan setia kepada Proklamasi 17 Agustus 1945. Dan karena kesetiaannya pada Proklamasi 17 Agustus, siap-sedia dan rela berkorban untuk menghancur-leburkan musuh di depan mata dan mempertahankan kemerdekaan 100%.
Tan Malaka kemudian menegaskan bahwa perjuangan dalam Gerpolek ini adalah tidak kenal tempo, tidak batas waktu, dan perjuangan baru selesai ketika mendapatkan kemerdekaan 100%. Barangkali Tan menginginkan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan sepenuhnya, seperti Ho Chi Minh, ketika perjuangan Rakyat Vietnam dilakukan terus-menerus mulai dari tahun 1945 hingga benar-benar merdeka pada 1970-an (saat Amerika kalah dan lari dari Vietnam). Contoh Vietnam adalah gambaran relevansi saja, Tan Malaka belum mengetahui sama sekali hasil perjuangan Rakyat Vietnam, sebab Tan telah meninggal sebelum mengetahuinya.
Tan Malaka menekankan pada gerilyawan yang terus berjuang harus tetap merasakan kegembiraan dan ketenangan pada saat berperang. Dengan tabah-berani, Tan Malaka meyakini bahwa para pemuda-pemudi kita akan rela berjuang sampai titik darah penghabisan. Bangsa Indonesia yang bersenjatakan "senjata sederhana", memiliki modal jiwa dan hati yang kukuh menurut Tan, sehingga mampu mengalahkan persenjataan serbalengkap milik musuh yang tidak punya hati dan jiwa yang kukuh.
Dalam gambaran Tan pun, pemuda-pemudi, laskar-laskar, dan tentara-tentara akan yakin di dalam hatinya, bahwa kemenangan yang sesungguhnya memang kemenangan yang paling sejati, yaitu kemerdekaan 100%. Kemerdekaan secara politik, ekonomi, dan kebudayaan. Kemerdekaan terhadap segala kedaulatan, yang tidak terbagi, utuh, dan bulat-lengkap.
Sebagaimana kata Tan,
"Seperti sang Anoman percaya, bahwa kodrat dan akal-akalannya akan sanggup membinasakan Dasamuka. Demikianlah pula Sang Gerilya percaya bahwa Gerpolek akan sanggup memperoleh kemenangan terakhir atas kapitalisme-imperialisme."