Persatuan Perjuangan) dijelaskan oleh Tan Malaka dalam aspek politik, ekonomi, militer, dan sosial, sebagai berikut:
Perhitungan untung-rugi dalam Musim Jaya Bertempur (17 Agustus 1945–17 Maret 1946) yang diperbandingkan dengan Musim Runtuh Berdiplomasi (17 Maret 1946–17 Mei 1948 atau pasca-Linggarjati dan Renville dan setelah ditangkapnya pemimpin-pemimpinPolitik
Pada masa Musim Jaya Bertempur, seluruh wilayah kedaulatan Republik adalah lebih dari 700.000 mil persegi, ditambah dengan wilayah perairannya yang lebih-kurang seluas 4.500.000 mil persegi. Namun, memasuki Musim Runtuh Berdiplomasi, pasca-Linggarjati, wilayah Sumatra dan Jawa—yang dikuasai Republik—hanya seluas 210.000 mil persegi atau sekitar 30% dari seluruh daratan Indonesia. Jumlah luas lautan kita yang ada di Sumatra dan Jawa, hanyalah seluas 225.000 mil persegi, atau lebih-kurang seluas 1/20 atau 5% dari tanah air kita. Belum puas lagi untuk terus menyusut, pasca-Renville wilayah kita merosot hanya enam atau tujuh daerah di Jawa, dengan wilayah terpencar di beberapa daerah Sumatra. Maka, sisanya hanya lebih dari 2% dari seluruh wilayah, baik tanah maupun lautan, di Indonesia.
Selain itu, dalam konteks kependudukan, jumlah penduduk Republik adalah sebanyak 70 juta jiwa dan semuanya berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia. Namun, saat memasuki Musim Runtuh Berdiplomasi, jumlah penduduk menyusut dengan yang hanya ada di Sumatra dan Jawa (sesuai Linggarjati), lebih-kurang sebanyak 50 juta jiwa atau 70% dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk di bawah kedaulatan Indonesia ini terus berkurang setelah Renville ditandatangani, ditambah pula dengan berdirinya negara-negara boneka, seperti Sumatra Timur, Jawa Barat, Jawa Utara, Jawa Timur (Blambangan), dan negara Batavia; jumlah penduduk di bawah kedaulatan Republik hanya 23 juta jiwa, atau kasarnya 30% dari seluruh penduduk Indonesia.
Ekonomi
Setelah dalam aspek politik, maka ekonomi pun ikut serta terdampak. Musim Jaya Bertempur Republik memiliki semua hasil-hasil perkebunan (getah, kopi, kina, teh, sisa, dll.), hasil-hasil pabrik (gula, besi, kain, kertas, dll.), hasil-hasil pertambangan (minyak, arang, timah, bauksit, emas, perak, dll.), baik kepunyaan musuh atau mitra. Semua itu berubah bagaikan neraca perdagangan yang mengalami penurunan hebat. Pasca-Musim Runtuh Berdiplomasi, Linggarjati dan Renville, semua yang telah direbut dan diambil alih, baik milik negara musuh atau negara sahabat, harus dikembalikan kepada pemilik sebelumnya, sebagai tindakan menjalankan “perjanjian” yang berkonsesi. Pengembalian milik Rakyat Indonesia ini dilakukan pula kepada negara yang memasuki wilayah Republik dengan menggunakan tentara dan senjatanya.
Dalam hal perhubungan pun demikian, pada saat Musim Jaya Bertempur, Republik memiliki akses berupa alat pengangkutan baik di darat maupun di lautan. Dengan demikian, Republik memiliki semua mobil dan truk untuk menjalankan roda kehidupan masyarakat di desa dan perkotaan. Bahkan, semua alat perdagangan terpenting pun dikuasai oleh Republik, seperti perbankan, perkebunan, pertambangan, pabrik, alat pengangkutan, dll. Dengan demikian, dengan waktu yang cepat, Republik dapat mengurangi kemandekan ekonominya. Kesemuanya itu sirna setelah Musim Runtuh Berdiplomasi. Linggarjati dan Renville memerintahkan untuk Republik mengembalikan semua hak milik Belanda sesegera mungkin. Belanda setelah itu memiliki semua alat perhubungan, perdagangan, pengangkutan, baik berupa perbankan, pertambangan, maupun aset-aset lainnya, maka sudah jelas bahwa keadaan kembali seperti Hindia Belanda. Belanda dengan aman mengakses perekonomiannya kembali di Indonesia dan mengaktifkan permodalannya untuk kepentingan Belanda. Hal ini diperparah dengan kebijakan blokade Republik oleh Belanda dalam sektor perekonomian.
Militer
Semua wilayah pegunungan dan lapangan-lapangan terbang dimiliki oleh Republik pada masa Musim Jaya Bertempur. Hal ini penting bagi pertahanan negara, dengan tentara dan pemuda yang juga menguasai senjata-senjata hasil rebutan dari Jepang. Baik berupa pistol, meriam, pesawat tempur, maupun alat-alat perang lainnya. Diperkuat dengan pemuda yang memasang penghalang dengan 1001 macam cara, sehingga tak ada ruang bagi musuh untuk menyerang Rakyat, dengan para pemuda yang siap-sedia membela. Lagi-lagi, kesemua modal itu musnah saat memasuki tahapan Musim Runtuh Berdiplomasi. Pelabuhan-pelabuhan penting, yang sebelumnya dimiliki oleh Republik, sekarang dikuasai oleh Belanda, misalnya di Jakarta, Surabaya, Semarang, Palembang, dan Medan. Belanda pun dapat dengan mudah untuk merebut wilayah-wilayah Republik dengan menggunakan tank, meriam, dan pesawat, oleh karena lapangan-lapangan terbang berhasil direbut oleh Belanda dan hanya tersisa sedikit yang dimiliki Republik. Kemudian juga, proses usulan gencatan senjata yang terus-menerus dan kebijakan Re-Ra yang diberlakukan, maka Belanda berada dalam, “kedudukan jauh lebih kuat daripada ketika gencatan perang pertama bulan Oktober 1946.”
Sosial-Politik
Pada masa Musim Jaya Bertempur, partai-partai, badan-badan, dan laskar-laskar mengalami perpecahan akibat permulaan Revolusi, berhasil dipersatukan dalam Persatuan Perjuangan pada 4–5 Januari 1946 di Purwokerto. Sebanyak 114 organisasi berhasil bersatu, yang di antaranya adalah partai, badan, laskar, dan ketentaraan untuk menentang musuh dan membela negara secara bersama-sama dengan tujuan yang jelas dalam “minimum program”. Namun demikian, semuanya itu berubah drastis pasca-Musim Runtuh Berdiplomasi. Saat perjuangan mau dimulai, dengan Persatuan Perjuangan berubah menjadi Konsentrasi Nasional, timbul lagi pertentangan antara yang kontra-Linggarjati dan pro-Linggarjati. Partai-partai pun menjadi pecah-belah antara partai yang pro dan partai yang anti. Maka, sejak bulan Mei 1948, mendengarlah di antara kita, antara sayap kanan, sayap kiri, dan aliran yang “lebih kiri dari kiri”. Hampir semua partai menjadi pecah-belah. Bahkan, Partai Komunis Indonesia pun menjadi pecah jadi tiga, yakni PKI lama, PKI Merah, dan PKI; PBI pecah menjadi dua; dan PSI pun pecah menjadi dua. Semua perpecahan yang terjadi di Republik itu mempermudah Belanda mengerjai kita, dengan memasukkan koloni kelimanya ke dalam semua badan, kelaskaran, dan partai sampai ke dalam tentara, administrasi, dan pemerintah.
Kesimpulan Menurut Tan Malaka
Dengan semua ini, kedaulatan yang berada di Ratu Belanda, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Belanda dan didirikannya negara-negara boneka, segala perdagangan yang dikuasai pula oleh Belanda, alat-alat pengangkutan dan perbankan yang dikuasai oleh Belanda, perpecahan-perpecahan di antara kita sehingga Belanda mudah untuk menginfiltrasi kita dengan koloni-koloninya, maka sudah teranglah, pada Musim Runtuh Berdiplomasi, Indonesia tak punya kekuatan sama sekali. Dengan demikian, Tan Malaka menyimpulkan kekuatan Republik hanyalah sebesar 10%, itu pun bisa jadi kurang dari 10%, mengingat kondisi Republik yang telah sedemikian rupa terpuruk ini.
Maka, kalau kita mengamati, Republik Indonesia kesulitan untuk menjadi negara maju, sulit untuk berdaulat sepenuhnya, dan sulit untuk berdikari, semuanya adalah imbas dari politik-diplomasi pada Musim Runtuh Berdiplomasi yang penuh dengan konsesi-konsesi kepada Belanda dan internasional, sehingga pasca-1957 aset yang dinasionalisasikan pun tak dapat beroperasi untuk kemakmuran Rakyat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H