Republik kembali dipersoalkan oleh Tan Malaka. Banyak sekali perubahan dalam segala hal yang diderita Republik, semenjak 17 Agustus 1945 sampai 17 Mei 1948, saat Tan menuliskan pamfletnya.Â
Dua tahun pasca-Proklamasi, posisiDua tiga perempat tahun setelah lahirnya Republik Indonesia itu, menurut Tan kondisi Republik terus-menerus merosot dalam aspek politik, ekonomi, militer, semangat Revolusi, bahkan aspek diplomasi.
Tan kemudian membagi usia Republik menjadi dua, sebagai periodisasi untuk mengondisikan situasi Revolusi. Pertama, Musim Jaya Bertempur atau Musim Jaya Berjuang. Kedua, Musim Runtuh Berdiplomasi.
Menurut Tan Malaka, Musim Jaya Bertempur terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 sampai 17 Maret 1946. Dengan kata lain, bila dikategorikan dengan situasional politik Republik, Musim Jaya Bertempur terjadi mulai dari peristiwa Proklamasi Kemerdekaan hingga peristiwa ditangkapnya para pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan di Madiun.
Pertanyaan timbul. Apa alasan Tan Malaka membagi periodisasi Revolusi menjadi dua musim? Tan menjawabnya dengan kembali mengkritik pemerintah yang memilih politik-diplomasi.
Baca juga: September Kelam: Tragedi Kemanusiaan, Pelanggaran HAM, dan Perjuangan Aktivis di Indonesia"... penangkapan para pemimpin Persatuan Perjuangan berarti suatu percobaan pemerintah Republik untuk mengubah perjuangan Massa Aksi atau Aksi Murba dengan aksi berdiplomasi...."
Tan menggambarkan kondisi perubahan periodisasi itu dengan sangat ciamik,
"... Mengubah diplomasi bambu runcing dengan diplomasi berunding. Mengubah sikap 'mencari perdamaian dengan mengorbankan kedaulatan, kemerdekaan, daerah perekonomian, dan penduduk' yang pada masa Musim Jaya Bertempur sudah 100% berada di tangan Indonesia, dengan sikap menyerah terus-menerus guna mendapatkan perdamaian dengan musuh."
Politik-diplomasi pemerintah juga merombak kepemilikan seluruh aset perekonomian yang telah diambil alih oleh Rakyat. Aset yang pada hakikatnya adalah hak mutlak milik Rakyat, harus dikembalikan kepada Belanda dan Sekutu. Segala usaha Rakyat dengan tangannya sendiri, baik untuk merebut, mengambil alih, maupun mengelola aset-aset milik asing atau musuh itu, kemudian menjadi sia-sia semua.Â
Kemandirian yang dikerjakan oleh Rakyat, dengan tenaga, pikiran, bahkan bahan-bahannya sendiri diubah oleh pemerintah sedemikian rupa, menjadi kerja sama yang erat dengan Belanda---yang selama 350 tahun nyata-nyata telah menindas dan memeras Rakyat. Maka, tak heran bila semua hak Rakyat atas aset-aset perekonomian tersebut sirnalah sudah.
Dalam urusan kemiliteran pun menyebabkan perubahan signifikan yang mengarah kepada ketidakmenentuan. Serangan menggunakan teknik gerilya ataupun menggunakan mobile warfare diubah sedemikian rupa dengan tindakan "cease fire" (gencatan senjata) dan tindakan mengosongkan daerah kantong. Hal ini menyebabkan posisi kita semakin lemah, menurut Tan Malaka. Tan melihatnya sebagai tindakan, "... yang memberi kesempatan penuh kepada musuh untuk memperkokoh kedudukan dirinya sendiri serta memperlemah kedudukan kita."