ekonomi Indonesia merdeka masih terikat erat dengan struktur ekonomi pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya yang paling penting adalah kebijakan pintu terbuka, yang membuka pintu untuk modal swasta masuk ke Hindia Belanda, baik dari Belanda maupun negeri Eropa Barat lainnya. Kebijakan demikian ini diambil setelah kebijakan Sistem Tanam Paksa dirasa sudah tidak efektif bagi Belanda ataupun bagi wilayah koloninya. Perubahan kebijakan perizinan modal swasta sejalan dengan perubahan sistem ekonomi menjadi ekonomi liberal. Maka dari itu, berdampak pula pada sistem politik yang berubah menjadi liberal di tanah jajahan.
StrukturTidak efektif dimaksudkan dengan keuntungan yang diraup dari sistem ini telah berkurang jauh daripada masa jayanya Sistem Tanam Paksa. Selain itu, tenaga kerja paksa untuk perkebunan dari bumiputra pun sudah sulit untuk ditemukan, sehingga lebih efektif untuk “mengikat” petani dan buruh tani dengan menggunakan sistem pengupahan.
Masuknya modal swasta ini kemudian menyebabkan apa yang disebut Boeke dengan “ekonomi ganda”. Pertama, berkembangnya modal swasta di Jawa dan Sumatra bagian Timur menyebabkan tumbuhnya industri padat modal yang ditujukan sebagai komoditas ekspor. Kedua, industri pribumi yang padat karya dengan sistem pertanian, yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut Boeke, kedua perekonomian itu terpisah satu sama lain. Namun demikian, Boeke tidak sepenuhnya benar. Industri padat modal (perkebunan) dan tenaga kerja tidak dapat dipisahkan begitu saja, sebab dalam data perkebunan Hindia Belanda industri perkebunan gula pun membutuhkan tenaga kerja yang banyak dan lahan yang luas.
Atas dasar memenuhi kebutuhan modal swasta yang sedang berkembang, pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun berbagai fasilitas-fasilitas publik. Pembangunan itu tidak ditujukan untuk kepentingan rakyat Hindia, khususnya bumiputra, tetapi ditujukan untuk efektivitas modal swasta. Di antaranya, dibangun perbankan, jalur kereta api, pelabuhan-pelabuhan, dan jalan raya. Hal ini membuktikan bahwa sistem liberal-kapitalistik sedang menjelma di dalam perekonomian Hindia Belanda.
Kendati demikian, modal swasta yang eksis di Hindia Belanda, tidak mengubah struktur kepenguasaan ekonomi. Oleh karena, modal swasta ini hanyalah pengganti dari modal yang eksis pada masa kolonial sebelumnya. Konsentrasi permodalan swasta ini pun hanya berfokus pada “sistem perkebunan”, dengan dibuktikan oleh tingginya devisa yang diperoleh oleh Hindia Belanda dari kegiatan ekspor hasil perkebunan, seperti gula, kina, karet, dan tembakau.
Akibat struktur ekonomi yang tidak berubah secara mendasar—dalam bidang perekonomian yang terdari dari pemodal swasta dan pemerintah kolonial—menyebabkan struktur ekonomi Hindia Belanda masih berfokus pada sektor agraria, sehingga sangat bergantung pada fluktuasi pasar internasional. Dampaknya terlihat pada tahun 1929, di mana terjadi krisis ekonomi dunia pasca-Perang Dunia I. Oleh karena Hindia Belanda masih berkutat pada sektor agraria, Hindia Belanda harus mengalami kemerosotan ekonomi yang tragis, sehingga menyebabkan banyak perusahaan perkebunan menghentikan produksinya.
Bila kita perhatikan kembali dan mengamati roda sejarah masa kini, terdapat sisa-sisa warisan kolonial dalam struktur perekonomian di Indonesia. Hal ini digambarkan dengan ekonomi Indonesia sampai sekarang masih berfokus pada ekspor tanaman mentah (sektor agraria), atau dengan kata lain Indonesia masih menjadi penyuplai barang mentah bagi dunia, tetapi menjadi pasar barang-barang impor dari berbagai negeri di dunia lain. Sementara, akumulasi dan konsentrasi modal dalam negeri, tidak terjadi masif di Indonesia. Hasil dari pertanian berupa barang mentah yang langsung diekspor ke luar negeri, menyebabkan Indonesia tidak mempunyai industri dalam negeri yang dapat mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi dengan nilai jual yang lebih tinggi.
Kondisi seperti ini, diperparah dengan masuknya tentara Dai Nippon dan menduduki wilayah Hindia Belanda. Kemudian Dai Nippon melakukan mobilisasi massa besar-besaran untuk kemenangan Perang Asia Timur Raya. Oleh karena itu, perekonomian dan struktur ekonomi pada masa Hindia Belanda jadi hancur berantakan, sebab tidak ada yang mengerjakan dan memelihara perekonomian tersebut. Rakyat yang sudah lelah akibat perang dan propaganda Jepang, tidak dapat lagi mengerjakan lahan perkebunan, sehingga perekonomian menjadi tidak berjalan.
Struktur ekonomi ala Hindia Belanda yang kapitalistik, bertumpu pada tenaga kerja berupah murah, dan hanya menjadi pasar dari barang-barang impor tersebut bertahan hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan demikian, perencanaan ekonomi, pembangunan, dan keuangan negara pada masa Republik berdiri disusun dengan bertolok pada keadaan perekonomian Hindia Belanda seperti disebutkan di atas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H