Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Garuda Pancasila, Bukan Presiden: Mengurai Miskonsepsi tentang Lambang Negara

20 November 2024   17:15 Diperbarui: 20 November 2024   17:26 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara,[1] serta Lagu Kebangsaan. Pasal 46 undang-undang yang sama lebih detail menjelaskan: “Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.”

Presiden bukan Lambang Negara diperkuat dengan peletakkan gambar resmi Presiden/Wakil Presiden adalah di bawah dari posisi Lambang Negara Garuda Pancasila. Pasal 55 ayat (1) huruf b menjelaskan bahwa, “gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.”

Lambang Negara memang tidak boleh dihinakan, tidak boleh dinodai, atau tidak boleh direndahkan oleh siapa pun juga. Lambang Negara, sekali lagi, bukan Presiden atau Wakil Presiden, tetapi Garuda Pancasila. Mengenai larangan-larangan yang ditujukan untuk melindungi muruah Lambang Negara, disebutkan dalam Pasal 57, antara lain:

“Setiap orang dilarang:

  • mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
  • menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
  • membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
  • menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.”

Dalam penjelasan umum UU Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan identitas dan jati diri bangsa Indonesia dicerminkan oleh Bendera Merah Putih, Bahasa Indonesia, Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pun telah mengatur mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa LaguKebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan demikian, Lambang Negara dari Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan berdasarkan UUD 1945 (dengan amandemen pada 2002) adalah empat simbol tersebut. Presiden dan Wakil Presiden bukanlah Lambang Negara ataupun simbol sekalipun. Hal ini adalah amanat konstitusi, di mana Presiden/Wakil Presiden itu bisa berganti tiap 5 tahun, sedangkan Bendera, Bahasa, Garuda Pancasila, dan Indonesia Raya tidak akan pernah berganti dalam konteks ketatanegaraan.

Dalam sistem pemerintahan parlementer, Raja dan Ratu sebagai kepala negara “kerajaan” adalah symbol of state, sedangkan perdana menteri akan menjalankan tugas sebagai Kepala Pemerintahan. Oleh karena itu, Lambang Negara Belanda, berupa Ratu dari Kerajaan Belanda, merupakan simbol negara Belanda dan hukum Belanda melindunginya sebagai perlindungan terhadap “muruah” kenegaraan. Berbeda dengan Republik Indonesia, sistem pemerintahannya adalah presidensial, di mana Presiden menjalankan tugas-tugas kenegaraan langsung dibantu oleh para menteri-menteri

Oleh karena itu, Presiden bukanlah lambang negara. Presiden adalah institusi kekuasaan pemerintahan dalam ranah eksekutif, sehingga penghinaan terhadap Presiden bukanlah sebagai penghinaan terhadap lambang negara, sebab “penghinaan” erat kaitannya dengan respons bernuansa perasaan. “Presiden” adalah institusi yang tidak mempunyai perasaan. Jangan samakan “pribadi” dengan “presiden”, apabila “pribadi” yang menjabat presiden merasa tersinggung dengan kritik dan menyebutnya sebagai hinaan, laporkan si “pengkritik” atau “penghina” itu melalui jalur perdata. Bahkan, apabila memang membutuhkan peran negara, datang ke polisi, adukan secara pidana dengan mengatasnamakan rakyat, meski ini jelas bertolak belakang dengan negara demokrasi.

Berdasarkan konteks keagamaan Islam, term presiden/wakil presiden adalah lambang negara tidak ditemukan sama sekali dalam berbagai literatur fikih. Dalam Islam, menyatakan bahwa presiden/wakil presiden, baik sosoknya secara pribadi maupun institusi, sebagai simbol/lambang negara tidak dapat dibenarkan. Hal ini disebabkan oleh karena: Pertama, tiap-tiap orang atau institusi memiliki hak yang sama di hadapan hukum, baik dalam hal perlindungan terhadap kehormatan, dirinya pribadi, maupun menjalankan kewajiban hukumnya—mengingat primus inter pares yang tidak menegasikan kesetaraan-kesetaraan ini. Kedua, menetapkan presiden/wakil presiden sebagai lambang negara berpotensi besar menjadi alat tirani penguasa yang saat itu menjadi presiden/wakil presiden, sehingga mengancam kebebasan berpikir, berekspresi, dan berpendapat sebagaimana diatur oleh undang-undang dan dinyatakan dalam syariat Islam.

Dalam kaca mata Islam, menghina memang dilarang, tetapi konteksnya adalah kepada sesama manusia, tidak hanya untuk presiden saja. Islam melarang menghina bagi semua untuk semua, tidak boleh menghina manusia lainnya. Konteksnya ialah berkaitan dengan potensi hinaan (ihtihza’) dan umpatan (syatmu) untuk memberikan efek menyakiti (idza’) sesama manusia dan dapat menurunkan marwahnya sebagai manusia. Islam tidak melarang sama sekali untuk mengkritik pemerintah yang zalim, terutama presiden dan wakil presiden—kebijakan-kebijakannya. Kritik ini juga disampaikan dengan memperhatikan etika Islam dan spiritnya.

Referensi

Manap, Abdul. “Hukum Hina Presiden dan Apakah Presiden Sebagai Simbol Negara? Ini Putusan Bahtsul Masail LBM PWNU Jabar.” Jabar NU Online, 29 Agustus 2023. https://jabar.nu.or.id/kota-bandung/hukum-hina-presiden-dan-apakah-presiden-sebagai-simbol-negara-ini-putusan-bahtsul-masail-lbm-pwnu-jabar-xOUhm.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun