Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Merawat Luka Sejarah Orde Baru: Mengapa Persatuan Nasional Masih Menjadi PR Besar?

21 November 2024   17:05 Diperbarui: 21 November 2024   17:05 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belakangan ini, saya melihat betapa banyaknya komentar-komentar negatif---yang tentunya tidak konstruktif---dalam upaya perwujudan persatuan nasional untuk menghadapi zaman baru, zaman dinasti politik. Komentar-komentar tersebut ada di media-media sosial terkemuka, yang sering kali bermuatan tentang adu domba di antara para pendiri bangsa, khususnya Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Yang menambah kemirisan, hal-hal ini dilakukan oleh generasi muda, di mana menggambarkan bahwa generasi muda Indonesia saat ini, amat a-historis (tidak mau tahu sejarah) dan tidak suka membaca.

Usai berlangsungnya pemilihan umum yang tak dapat dipercaya, di mana dinasti politik yang berdiri kokoh dengan segala label pembenarannya dapat memenangkan kekuasaan. Generasi muda (pemuda) seakan didorong untuk menjadi generasi yang a-historis, generasi yang tak mengenal sejarah, generasi yang tak mau tahu sejarah bangsanya.

Betapa tidak, generasi muda seakan lupa mengenai Orde Baru yang dibangun dengan kekejaman dan dijalankan dengan penuh kebiadaban itu? Bahkan, sebagian besar dari mereka tidak mengerti sama sekali tentang orde itu. Apakah mereka tahu bahwa nepotisme pada era Orde Baru yang brutal dan ugal-ugalan menyebabkan rakyat miskin, rakyat marhaen, tak dapat merasakan kemerdekaan sesungguhnya di Republiknya sendiri?

Seolah tak acuh dengan nasibnya rakyat, sebagian dari mereka mendukung kebijakan instan "pemberian makan gratis" yang dana dan tender-nya rawan dengan praktik KKN. Seakan mereka tak peduli dengan masa lalu salah satu pasangan calon yang penuh dengan sejara kelam, dengan segala tuduhan-tuduhan yang tak pernah dijawabnya sampai benar-benar clear?---atau bahkan hal itu karena mereka terkecoh dengan kampanyenya yang fun? Ataukah ia luput mengetahui adanya fakta sejarah berupa dokumen-dokumen dan bukti sejarah tentang sejarah kelam salah satu pasangan calon tersebut? Atau hanya karena mereka tak punya jiwa nasion yang kuat, sehingga mudah terombang-ambing oleh arus informasi, oleh tren-tren di TikTok? Hal ini harus segera dijawab oleh kita sebagai para pemuda.

Mengenai perlawanan kita sebagai pemuda progresif, maka menghadapi zaman baru yang saya namakan, "zaman dinasti dalam alam republik", maka kita harus memikirkan bagaimana kita dapat memperbaiki bangsa ini untuk masa yang akan datang. Sebagai pemuda, kita harus mewujudkan persatuan nasional di antara pemuda-pemuda dan kaum progresif. Generasi muda, pemuda, kaum muda, atau apa pun sebutannya untuk mereka yang masih "muda", khususnya yang masih punya rasa nasionalisme, maka jawabannya kita harus mewujudkan persatuan nasional dan membentuk Front Persatuan Rakjat atau Front Nasional.

Dengan demikian, berhentilah untuk saling mengejek, untuk merendahkan, untuk membenci satu dan mendewakan yang lain. Hentikan segala bentuk penjelek-jelekan pendiri bangsa. Poin utama saya itu. Kita sebagai pemuda harus membentuk front persatuan nasional dengan dasar pemikiran yang telah digagas oleh para pendiri bangsa.

Pemuda yang suka Sukarno, pakailah pemikirannya tanpa perlu menjelekkan Hatta-Sjahrir, begitu pula pemuda yang suka Hatta-Sjahrir pun demikian, jangan rendahkan pemikiran Sukarno. Hentikan komentar-komentar negatif di media-media sosial mengenai pendiri bangsa dengan membanding-bandingkan di antara mereka semua. Hal ini akan berdampak pada "semangat persatuan" di antara kita dengan landasan-landasan pemikiran mereka. Sukarnois, Hattais, dan Sjahriris, harus bersatu-padu dalam rampak barisan, dengan segala dialektikanya, dan dinamika ke depannya.

Bangunlah persatuan di antara para pengagum, pengikut, dan pencinta ketiga tokoh tersebut. Bahkan, jikalau perlu, maka saya tambahkan, bangun juga persatuan di antara para pengikut Natsir, pengikut Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), pengikut H. Agoes Salim, pengikut Ki Hadjar, pengikut Wahid Hasyim, dll., mari kita bangun persatuan.

Di antara mereka yang saya sebutkan di atas, tak ada satu pun pemikiran mereka yang menjadi landasan pemikiran terbentuknya rezim atau pemerintahan oligarki di Republik ini. Tak satu pun pemikiran mereka yang dijadikan landasan terbentuknya dinasti dalam sistem pemerintahan yang telah disusun sedemikian rupa dalam Republik dan sistem pemerintahan presidensial. Pemikiran mereka adalah semangat untuk kita menuju demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial sesungguhnya.

Dengan mengambil kompromi di antara pemikiran para pendiri bangsa itu, kita bisa wujudkan persatuan nasional untuk menghantam dinasti politik yang ada di depan mata kita. Kompromi dan jalan tengah di antara para pemikiran itu akan menjadi pisau analisis untuk menemukan kembali arah bangsa Indonesia yang sebenar-benarnya. Sebab mengapa? Karena bangsa ini didirikan semata-mata untuk menuntaskan revolusi 17 Agustus 1945, menuju masyarakat adil dan makmur, bukan masyarakat tak adil dan tak makmur. Bukan masyarakat yang diatur hanya oleh satu keluarga, bukan kekayaan negara yang dihimpun dalam satu dinasti. Pemikiran mereka adalah antitesis, jawaban, segala kontranarasi dan kontrahegemoni semua etika, budaya, dan sistem politik Indonesia masa kini.

Hal ini sebagaimana, kita mengambil semangat Soebadio Sastrotomo, tokoh PSI, pengikut loyal Sjahrir. Dengan kelapangan hati dan luasnya samudra pikirannya, cendekiawan ini menegaskan dan menganjurkan untuk membangun persatuan antara Sukarno-Hatta-Skahrir sebagai senjata guna menghantam rezim fasis Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun