HAM) dan berita-berita ketika menggambarkan kejadian-kejadian masa lalu yang terjadi pada bulan ini. Para aktivis HAM tanpa rasa lelah masih tetap bertahan untuk menyuarakan kebenaran. Meski tahu suara suarnya tidak akan didengar, paling tidak mereka dapat melawan "lupa" dan merawat ingatan untuk masa depan bangsanya. Tak hanya sekadar itu, mereka pun berupaya terus-menerus untuk mendesak supaya penegakan hukum dilaksanakan kepada para terduga pelaku pelanggaran HAM oleh negara.
September kelam, september hitam. Begitulah ungkapan aktivis-aktivis Hak Asasi Manusia (Iya, kaki mereka tetap berdiri tegak. Tak peduli sampai 17 tahun ataupun sampai 1000 tahun lamanya, mereka tetap akan terus berdiri memperjuangkan hak-hak orang yang tertindas. Orang-orang yang hak asasinya dirampas oleh penguasa---dan kroni-kroninya---yang jauh lebih kuat. Mereka berjuang untuk itu, dan hanya untuk itu.[1]
Berkaca pada kejadian pemilihan umum tahun ini di mana penuh dengan ucapan---bahkan tindakan---tak elok dan tak pantas dalam arus politik utama, aktivis HAM dan demokrasi pun ikut tertuduh oleh karenanya. Mereka tertuduh tidak tulus memperjuangkan HAM dan demokrasi, mereka tertuduh dengan dalih yang begitu melemahkan "posisinya". Mereka dituduh hanya "menikmati arus politik", mereka dituduh mendukung salah satu paslon, mereka partisan. Oleh karena itu, kritik dan "penentangan" terhadap situasi dan kondisi jadi tak dihitung, bahkan tak didengar. Makin hari, makin hancur situasinya, tuduhan-tuduhan seperti ini pun kian banyak.[2]
Mengingat bulan ini sudah masuk bulan September. Saya ingin sedikit memberikan gambaran berupa fakta mengenai kejadian-kejadian yang pernah terjadi pada bulan ini. Setidak-tidaknya, ini upaya saya sebagai "pengingat" sebagai langkah untuk melawan lupa. Oleh karena itu, pertama-tama, saya akan menjelaskan alasan diberikan penamaan "September Kelam" untuk bulan ini.
Penamaan tersebut dilatarbelakangi oleh kejadian-kejadian pada bulan ini, di mana terjadi serangkaian tragedi-tragedi kekerasan yang menjurus pada pelanggaran HAM, bahkan pelanggaran HAM yang Berat. Banyaknya tragedi kekerasan ini mengakibatkan, tidak hanya saya yang menyimpulkan, tetapi media dan masyarakat mennyebutnya sebagai "September Kelam" atau "September Hitam". Mungkin juga terinspirasi dari media internasional, di mana Amerika Serikat pernah mendeskripsikan peristiwa 9/11 sebagai tragedi september kelam. Namun, terlepas dari itu semua, terlepas dari alasan yang diberikan media internasional terhadap kejadian yang jauh dari negeri, ada yang jauh lebih penting untuk kita "kita ingat"---yakni, peristiwa atau tragedi yang terjadi di bangsa kita, terjadi di negara kita, terjadi di Republik Indonesia.
Selanjutnya, saya akan jelaskan mengenai tragedi apa saja yang terjadi. Serangkaian tragedi yang terjadi di Indonesia ini bukan hanya menyisakan puing-puing rasa kecemasan, melainkan juga melahirkan rasa "kebencian". Hal ini diakibatkan oleh pola pikir yang telah terstigmatisasi, hasil dari indoktrinasi dan propaganda Orde Baru-nya Soeharto. Beberapa tragedi-tragedi yang hingga kini masih membekas, misalnya, Pembantaian Kader, Anggota, dan Simpatisan PKI; Tragedi Tanjung Priok; Tragedi Semanggi II; Misteri Pembunuhan Munir; serta---yang paling baru---Aksi Reformasi Dikorupsi yang terjadi pada 2019 silam.
Tragedi pertama adalah tragedi pembantaian kader, anggota, dan simpatisan PKI pada penghujung tahun 1965 hingga awal-awal tahun 1966. Tragedi ini sangat erat kaitannya dengan peristiwa G30S. Perisitiwa G30S sendiri merupakan tragedi terbunuhnya 6 jenderal dan 1 perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) pada 1 Oktober dini hari. G30S disinyalir timbul karena pada masa Demokrasi Terpimpin, kekuatan komunis dengan PKI sebagai representasi politik memiliki kekuatan yang cukup besar. Tokoh-tokoh militer dengan program dwifungsi ABRI-nya yang antikomunis selalu mencoba untuk mengimbanginya. Relasi yang terjadi di antara kedua pihak---AD dan PKI---adalah sangat antagonistik. Oleh karena itu, timbul suhu "kepanasan" dalam arus politik Indonesia, antara PKI dan perwira-perwira TNI, khususnya AD.Â
Peristiwa ini dilalui dengan "pembantaian massal" terhadap warga sipil, para anggota, kader, dan simpatisan PKI dibantai secara massal. Mereka dibunuh tidak dengan perintah pengadilan, tidak dengan dasar hukum, tetapi dengan perintah penguasa, "ganyang PKI sampai ke akar-akarnya!".
Dengan mengambil dalih G30S sebagai sebuah kudeta yang dilakukan PKI kepada Republik, AD dan para paramiliter organisasi masyarakat---yang antikomunis---membantai mereka. Bahkan, Vincent Bevins dalam Metode Jakarta, menjelaskan bahwa AD diberikan daftar nama oleh AS untuk melaksanakan eksekusi massal ini. Indonesia banjir darah.[3]
Jika kita berbicara G30S, selanjutnya pasti menanyakan soal siapa dalangnya. Merujuk pada Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa, dalang G30S sampai sekarang memanglah belum menemui titik terang. Namun, kesimpulan Roosa mengarah pada "konflik internal AD".[4] Pemerintah yang saat itu sudah dikontrol oleh militer mengambil kesimpulan bahwa PKI di belakangnya. Akan tetapi, ketidakpastian timbul karena arus informasi pada masa itu sangat terfokus hanya dari koran Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersendjata, yang mana milik AD. Bahkan, koran sebagai alat informasi yang saat itu menjadi satu-satunya sumber. Koran-koran lain setiap kali ingin menerbitkan pun harus melalui serangkaian tahap pengecekan oleh militer. Maka dari itu, banyak sejarawan yang mengatakan sulit mendapatkan objektivitas dari informasi yang diberikan pemerintah.
Menyusul kemudian, Riwayat Terbukur membongkar peristiwa setelah G30S. Presiden Soeharto yang naik ke tampuk kekuasaan berkuasa di atas banjir darah di negaranya. Presiden Sukarno---proklamator dan pahlawan besar bangsa---bahkan tega ditahan oleh Soeharto.[5]