Merebaknya wacana tentang kembalinya pilkada lewat DPRD tentu mengingatkan kita pada masa orde baru di era Soeharto. Setiap kepala daerah ditunjuk langsung oleh petinggi-petinggi partai dan dilakukan secara tertutup tanpa ada campur tangan masyarakat. Sistem ini tentu punya untung-rugi baik bagi partai politik maupun masyarakat yang tidak dilibatkan.
Pilkada serentak yang sedang diterapkan KPU sekarang ini punya alasan logis. Salah satunya strategi dalam memangkas anggaran pemilu yang sangat besar. Namun hal itu belum cukup dan pemerintah masih punya opsi lain untuk semakin meminimalisir besarnya anggaran. Resiko menjadi negara demokrasi memang harus siap dengan anggaran besar karena setiap keputusan idealnya harus melibatkan seluruh rakyatnya.
Pihak yang mendukung adanya pilkada lewat DPRD pasti punya alasan tersendiri. Seperti yang dikemukakan Sekjek PPP, Arsul Sani beberapa waktu lalu yang mengatakan wacana kembalinya pilkada lewat DPRD mempertimbangan realitas di masyarakat tentang banyaknya kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Biaya politik yang mahal membuat mereka yang tidak ikhlas berusaha agar bisa balik modal bahkan kalau bisa untung. Sedangkan mereka yang kontra berdalih bahwa pilkada melalui DPRD hanya akan semakin menyuburkan praktek korupsi di tubuh pemerintah.
Namun bukan berarti dengan adanya pilkada langsung seperti sekarang praktek-praktek korupsi bisa dihilangkan. Adanya money politic merupakan salah satu contoh bahwa pilkada langsung pun tidak menjamin adanya kontestasi politik yang bersih. Sehingga perubahan pilkada lewat DPRD menjadi pilkada langsung hanya sebatas memindahkan praktek korupsi dari lingkungan elit pemerintah ke masyarakat.
Hal ini juga di perparah dengan adanya fenomena local strong men atau lebih khusus lagi pada teorinya John T. Sidel tentang campur tangan Bosisme (orang kuat lokal) dalam setiap penyelenggaraan pemilihan kepalada daerah. Sidel melihat bosisme menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan preman.
Secara sederhana, Bosisme merupakan orang 'dibalik layak' yang kebanyakan biasanya datang dari kalangan pengusaha yang membiayai seluruh ongkos "nyalon" kepala daerah untuk maju dalam pilkada. Tentu tawaran ongkos politik ini tidaklah gratis. Jika menang, calon terpilih harus bersedia menuruti 'kemauan' si pengusaha. Hal ini yang membuat kepentingan kepala daerah tidak lagi netral dan diprioritas pada kemaslahatan masyarakat yang dipimpinnya, tetapi lebih condong pada si pemberi modal kampanye yang tak lain adalah pengusaha itu sendiri. Â
Sumbangan Rakyat ala Jokowi
Pilkada langsung yang dianggap boros dan mahal bagi si calon bisa diminimalisir dengan banyak cara. Salah satunya dengan strategi kampanye sumbangan rakyat yang pernah dilakukan oleh pasangan Jokowi-JK pada pilpres 2014 lalu. Strategi kampanye itu menjadi menarik dan bisa dipraktekan pada kontestasi politik di daerah karena dapat memangkas dana kampanye yang dikeluarkan. Dalam penuturannya, Jokowi memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat yang mendukung dirinya untuk menyumbang dana kampanye dalam bentuk uang.
Sumbangan rakyat lewat program rekening gotong royongnya Jokowi juga menjadi menarik secara esensi karena dana kampanye seorang calon kepala daerah biasanya terbatas pada lingkungan parpol dan 'sumbangan' dari para pengusaha. Mereka yang mencalonkan diri sebagian mendapat songkongan dana dari parpol. Jika masih kurang maka parpol akan mencari 'sumbangan' lain lewat pengusaha. Sebagai politik balas budi, jika calon tersebut terpilih maka kepentingan-kepentingan mereka (peyumbang dana) akan diakomodir. Misalnya lewat proyek-proyek pemerintah yang pasti akan dipermudah kepada si pengusaha yang baik hati dan tidak sombong tersebut.
Dengan strategi sumbangan rakyat yang dicetus Jokowi pada masa itu, maka kepentingan-kepentingan elite tertentu setidaknya bisa di minimalisir. Jika ongkos politik diperoleh dari parpol dan pengusaha maka segala bentuk kepentingannya pun tidak akan terlepas dari keduanya.
Berbeda jika sebagian atau bahkan seluruh dana kampanye berasal dari sumbangan rakyat maka idealnya kepentingan akan berpihak pada rakyat karena secara tidak langsung si calon terpilih hanya punya hutang budi pada rakyatnya sendiri bukan pada parpol atau pengusaha. Cara ini juga menegaskan bahwa masyarakat tidak di 'sogok' oleh si calon, tetapi sebaliknya, si calonlah yang si 'sogok' oleh masyarakatnya sendiri untuk menjalankan kebijakan-kebijakannya.