Ada yang menganggap peribumi sebagai kata-kata kuno yang kental dengan rasisme. Bahwa peribumi sudah lama dihapuskan dari wajah Indonesia sebagai persepsi yang salah. 'Ini tuh indonesia itu tidak ada peribumi, jangan bawa kata kata rasis kesini bung!" Kira kira seperti itu.
Namun ada yang juga menganggap peribumi dalam konteks lain. Apa yang sekarang menjadi viral akibat perkataan seorang guberner DKI yang baru dilantik tidak bisa diambil dari satu kata saja, tapi harus dilihat dari konteks keseluruhan kalimatnnya. Ada yang berusaha membela dan mencoba tidak mempermasalahkannya. Ada pula yang akhirnya melaporkan guberner yang nyinyir seribu kata di sosial media ini. Semua orang jadi punya 'bagiannya' masing-masing.
Peribumi atau bukan, penulis lebih senang melihat pro-kontra ini dari refleksi kejadian-kejadian di masa lalu. Ini tidak jauh berbeda dengan masa-masa Ahok yang tidak permasalahkan terkait kata-katanya yang dianggap menodai umat islam. Yang dibahas kurang lebih sama. Mendebatkan sebuah kata.
Dalam kasus ahok kata'dibohongi' jadi bahan perdebatan. Menurut yang pro, dibohongi ahok justru sebagai oknum, tapi menurut yang kontra, dibohongi merupakan bentuk melecehan (yang diduga) disengaja kepada ayat-ayat alquran.
Tapi permasalahan sekarang adalah. Pertama, apakah pro-kontra ini akan di goreng terus oleh media? kedua, apakah politikus cap jahe akan membumbui pro kontra ini sebagai aksi 'balas dendam' pada lawan politiknya?
kita hanya bisa menunggu. Apa yang terjadi pada Ahok adalah akibat faktor pertama dan kedua itu. Jika permasalahan ini terus diungkit bisa jadi kasusnya akan sebesar Ahok. Jika tidak, maka cepat atau lambat kasus ini akan tenggelam begitu saja. Bak sebuah film, kita hanya bisa menonton dan tunggu kelanjutannya seperti apa. comming soon.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H