Mohon tunggu...
M Daffa Rafiecena
M Daffa Rafiecena Mohon Tunggu... Mahasiswa - Memberi inspirasi bukan sensasi

Lahir di Jakarta, traveler, culinary and movies lover, Mahasiswa Hukum, Sedang menata masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jakarta Banjir, Otak Siapa yang Dangkal?

7 Januari 2020   20:52 Diperbarui: 8 Januari 2020   09:44 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada era Ahok dilakukan normalisasi waduk dan sungai dimulai sejak 2015 namun terhenti setelah Anies menjabat dari tahun 2017, walhasil normalisasi tak sesuai target dan banjir masih terjadi disekitar, bukannya mau membandingkan memang menurutku cara tersebut ampuh namun faktor penolakan warga bagi yang tinggal disekitar kali dan penolakan relokasi ke rumah susun membuat normalisasi tinggal angan-angan.

Pada era Anies, beliau memutuskan mengganti istilah normalisasi dengan naturalisasi yaitu pengembalian fungsi habitat alamiah sungai dan memutuskan tidak menggusur warga +62 yang tinggal melainkan menggeser sebenarnya membuat saya juga bingung, namun saya belum mendengar dan melihat kabar naturalisasi sungai dilaksanakan, soal normalisasi dan naturalisasi menurut masukan dari pengamat sebaiknya digabungkan prosesnya sehingga tidak perlu ambil pusing, namun hal yang terpenting didahulukan adalah proses relokasi warga mau tidak mau harus dilaksanakan agar proses normalisasi plus naturalisasi berjalan lancar walau sulit.

Sayangnya terkait warga menolak relokasi ke rumah susun dengan faktor menolak adaptasi dengan lingkungan baru atau mempertahankan tempat tinggal sudah terbiasa, mungkin warga +62 lebih menyukai tinggal di hunian tanah daripada rumah susun, sebenarnya sebagian besar lahan sudah menjadi perumahan mewah, mal, kantor, dan komplek industri sehingga mau tidak mau mencari lahan yang ada untuk rumah karena faktor selera warga +62 sampai IMB dan AMDAL dianggap tidak berguna lagi.

Kalau sebagian besar lahan dikuasai konglomerat kemudian warga sekitar kali dipaksa relokasi karena cuma satu-satunya cara dalam menanggulangi banjir, pilih untuk beradaptasi dengan lingkungan tak sesuai selera kita atau lebih baik melakukan urbanisasi ke kampung halaman untuk membangun kebahagian keluarga dengan memajukan tanah kelahiran sendiri daripada menghadapi kejamnya ibukota tak jelas tujuan kemana, kan enak gak usah mudik lebaran depan lagian sebagian besar kota kecil dan kabupaten kekurangan tenaga kerja.

Saat kita merasa tersinggung dan marah karena diingatkan atas kesalahan diperbuat dan tetap menyalahkan pihak sebenarnya berusaha mengatasi berarti kepala anda benar-benar dangkal.

Benarkah selama ini sikap birokrasi kita termasuk ketentuan hukum yang dibuat sudah tidak beres sehingga membuat warga +62 melakukan hal tersebut seenak jidat, dan adakah keterkaitan juga dengan kemaksiatan dilakukan pada malam pergantian tahun?

Masyarakat mengeluhkan kinerja gubernur Anies saat dalam menangani kasus banjir tak terpecahkan sampai saat ini hingga dalam google pun disebutkan (maaf) bahwa Anies Baswedan sebagai gubernur terbodoh berdasarkan respon masyarakat, hingga saat ini korban banjir warga +62 terpecah menjadi dua kubu yaitu goodbener dan gabener, yah lagi-lagi politik.

Terlepas dari semua memang tidak salah untuk menyalahkan pemerintah atas kinerja atas perbuatan kita sendiri, sebaiknya salahkan juga sistem termasuk ketentuan hukum yang ditetapkan  seolah-olah membuat kita sebagai warga +62 paling santuy berbuat seenak jidat kita karena kemalasan wakil rakyat kita dalam memperbaharui beberapa perundang-undang dibilang tumpang tindih terutama ketentuan AMDAL mengenai bangunan menyebabkan tidak ada resapan air.

Ada isu beredar bahwa pemerintah berencana untuk menghapus AMDAL alasan investasi sebenarnya sangat dibutuhkan apalagi pembangunan tak terkendali di pulau Jawa seharusnya butuh upgrading salah satunya kewajiban pembuatan sumur resapan setiap komplek perumahan dan bangunan komersial besar di pusat kota.

Terkait dengan perubahan iklim didunia sudah sangat pasti, paling miris karena Indonesia atas kesantuyannya membuat negara paling tidak peduli terhadap perubahan iklim di tanah air sendiri hingga ke dunia akibat ulah keserakahan dan sikap bodo amat.

Ada juga bahwa bencana banjir Jakarta dikaitkan akibat warga +62 berfoya-foya yaitu pesta menunggu datang tahun baru sambil menyalakan kembang api, dan paling parah melakukan zina sampai buah nanas laris dibeli setelah malam tahun baru buat gugurin kandungan, dan sisa kondom pun juga ikut terhanyut, sampai-sampai bilang bahwa banjir tahun ini merupakan azab akibat merayakan tahun baru masehi sampai mabuk-mabukan dan berzina seperti di ftv gitu, ah sudalah plis jangan begitu anggap saja ini ujian seperti mantan yang ditinggal kawin memang tuhan berusaha menegur kita atas kebodohan dan keserakahan seharus tidak dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun