[caption id="attachment_258229" align="aligncenter" width="300" caption="dokumen pribadi"][/caption]
Menjelang senja saat asik membaca novel ada pesan masuk via BBM (Blackbarry messenger), setelah dibuka ternyata teman belajarku menyapa dari jauh, Manila. Temanku memang sedang ada meeting di Manila dengan sahabat seperjuangan sesama aktivis. Perbincangan ringan via BBM menanyakan kondisi masing-masing, endingnya sahabtku menayakan mau dibawain oleh2 apa nich dari manila? Aku Cuma jawab, terserah, yang penting jangan lama-lama di Manila dan cepat pulang ke Indonesia. Karena aku gak mau nyebutin oleh2 apa, ya karena aku gak tau yang khas dari Manila apa. Bagiku, yang penting cepat pulang dan bisa belajar bersama lagi.
Pulangdari Manila, sampai di Jakarta menyapaku lagi via BBM, kata sahabatku, “aku sudah di Indonesia lagi”. Perjalanan Indonesia-Manila kira-kira empat jam, jadi gak terlalu lama. Minggu pagi sekitar jam 7 mendarat di Jogja, sahabatku langsung istirahat karena kelelahan. Minggu malam aku menemuinya sesuai janjiku saat komunikasi via BBM ketika masi Manila. Ya, kita memang lama tak bertemu karena kesibukan masing-masing. Ketemu baru sekitar 15 menit sahabatku minta ditemani karena ada meeting yang sangat penting. Ya sudah aku ikut aja sambil cerita-cerita selama berada di Manila.
Setelah beberahari di Jogja, sambil bercanda aku menanyakan lagi oleh2, eh ternyata sudah disiapkan. Duduk santai sahabatku menyodorkan sebuah pena yang sangat besar. Aku tetawa melihat pena yang begitu besar. Setalah itu aku coba beripikir apa makna dibalik hadia pena ini. Aku coba menarik perjalanan kita selama belajar bersama yang sudah berusia tujuh tahun lebih. Aku pun teringat saat kita pertama ketemu dan diskusi bersama. Ada dua pesan yang diberikan sahabatku ini, “budayakan membaca dan menulis”.
Membaca apa saja yang penting membiasakan diri untuk membaca. Dan melatih diri setiap hari untuk menulis, menulis apa saja, kata sahabatku. Aku pun beromantise saat kita awal-awal pertemuan dulu. Ya, sejarah selalu mengajari kita untuk berpikir dan mengambil hikmah darinya. Berikut aku coba menafsikan hadia pena dari sahabatku ini:
Pesan untuk Menulis
Menulis adalah aktivitas yang akan mengabadikan seseorang dalam sejarah. Apapun bentuk tulisannya, baik berupa kumpulan tulisan ilmiah, opini, cerpen, puisi, esai, catatan harian, dan lain-lain, akan mengabadikan penulisnya. Banyak penulis-penulis besar yang masih kita baca karyanya hingga kini. Peradaban suatu bangsa akan dikenal generasi penerusnya bila meninggalkan karya-karya besar. Menulis merupakan rekaman sejarah suatu generasi bangsa, dari sinilah generasi penerus mempelajari kebesaran masa lalunya.
Seseorang dihargai karena menulis, walaupun ia tidak pinter. Karena ia menulis orang lain akan tetap menghargainya. Setiap orang memiliki potensi untuk menulis, tetapi tidak semua orang bisa menjadi penulis yang melahirkan karya-karya secara konsisten. Seseorang yang ingin terus bisa berkarya harus banyak membaca, karena dengan membaca kita bisa mendapatkan banyak inspirasi.
Aktivitas membaca tidak hanya membaca buku, melainkan membaca realitas di sekitar kita juga disebuta membaca. Membaca realitas dapat melatih kepekaan kita, dan dari sini juga dapat memunculkan banyak inspirasi. Ide-ide untuk menulis banyak berserakan di sekitar kita, makanya kepekaan terhadap realitas harus dilatih secara bertahap. Seseorang yang peka dan suka gelisah sangat mudah menangkap pesan dari realitas, dari sinilah karya-karya hebat akan lahir. Menurut penulis, untuk bisa menulis jangan menunggu inspirasi datang, jemputlah inspirasi-inspirasi itu dibalik gejala-gejala dalam hidup kita.
Wisma Kalingga, 21:37 Waktu DIY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H