Pada dasarnya, tulisan ini saya buat untuk menjawab kegelisahan teman-teman satu diskusi dengan saya yang membaca Opini Bung Darmansyah yang terbit di media online diliputnews.com pada tanggal, 21/9/2014 dengan judul Stategi Meningkatkan Mutu Pendidikan Aceh, dan opini bung Dicky Ariesandi (1/10) di theglobejournal.com dengan judul Belajar Pemenuhan Hak Pendidikan di Simeulue.
Ada hal yang mesti diluruskan, agar para pembaca tidak bingung, apa lagi kebingungan dalam melihat pendidikan di kabupaten simeulue.
Sesuatu yang aneh ketika dikatakan bahwa mutu pendidikan Kabupaten Simeulue meningkat, apa lagi berkeadilan menurut bung Darmansyah dan bung Dicky. Bahkan daerah lain diajak belajar ke simeulue untuk menata dan memperbaiki mutu pendidikan di daerah mereka masing-masing.
Saya malah bingung, parameter mana yang coba dipaparan sehingga memberikan satu kesimpulan bahwa pendidikan kabupaten simeulue bermutu dan berkeadilan? Apakah dari bagi-bagi dana OTSUS yang masih kurang, atau dana BOS yang juga kurang, sehingga dibagai-bagi, lalu dikatakan itu bermutu dan berkeadilan? Laku kemudain dikatakan hak pendidikannya terjawab sudah?
Padahal setau saya, alokasi dana tambahan yang coba disiasati oleh pemerintah kabupaten simeulue tak obahnya akal-akalan saja, dengan memangkas beasiswa yang telah dialokasikan untuk para mahasiswa yang menuntut ilmu diluar daerah, kesekolah yang menurut pemerintah layak dibantu, yang kalau menurut saya juga tidak efektif, karena itu bukan kebutuhan yang mendasar.
Program Dana Penunjang Pendidikan (DPP) Berkeadilan yang telah ditetapkan berdasarkan Perbup Simeulue Nomor 12 Tahun 2014 meminjam perkataan bung darman, hanya pepesan kosong belaka. Perbup tersebut hanya dijadikan hiasan lembaran negara yang minim realisasi. Simakla fakta-fakta berikut ini tentang carut-marutnya pendidikan simeulue.
Kebutuhan Mendasar
Mari kita lihat secara mendalam, apa yang terjadi sesungguhnya di simeulue, perlu dicatat bahwa kebutuhan mendasar bukanlah persoalan bagi-bagi BOS dan OTSUS, karena itu bukanlah faktor penunjang utama agar pendidikan di kabupaten simeulue bermutu dan berkeadilan.
Yang paling penting untuk diatvokasi dan didorong kalau memang ingin pendidikan di simeulue bermutu dan berkeadilan adalah mendorong agar tersedianya guru yang berkualitas. Disamping itu juga, pemerataan guru yang berkeadilan.
Hari ini yang perlu diketahui adalah bahwa, diberbagai kecamatan di simeulue guru pengajar di setiap sekolah ada yang hanya satu orang. Contoh, di SMA negeri 4 alafan, hanya satu orang kepala sekolah yang berstatus PNS, ditambah SM3T dua orang. SMP negeri satu alafan tiga orang yang berstatus PNS, lainnya bakti. SD negeri 4 alafan hanya empat orang tenaga pengajar yang PNS, lainnya bakti.
Hal yang hampir sama dialami oleh sekolah diberbagai tingkat di kecamatan Salang, Simeulue Barat, Teluk Dalam, Teupah Selatan dan kecamatan lainnya.
Artinya, saya ingin katakan bahwa, faktor penentu utama, apakah pendidikan itu bermutu atau tidak dilihat dari pertama yaitu tenaga pendidiknya. Kalau tenaga pendidiknya saja pada satu sekolah hanya ada dua atau tiga, bagaimana dikatakan pendidikan di kabupaten simeulue meningkat, bermutu, dan samapai dikatakan memenuhi hak konsitusionalnya?
Hal lain kalau kita ingin melihat lebih jauh, bahwa pendidikan simeulue kalah saing dengan daerah lain. Ini terlihat ketika adik-adik memasuki perguruan tinggi negeri. Dalam catatan saya, untuk tahun 2014, dari 10 orang yang tes di Unsyiah, hanya 1 orang yang lulus. Artinya, hanya satu persen saja yang lulus dari seratus persen yang saya catat.
Ini jelas mengindikasikan bahwa pendidikan simeulue bobrok total. Lau apa yang ingin diandalkan? Guru hanya menumpuk di ibu kota kabupaten yaitu sinabang. Itu desebabkan karena tidak mampunya pemerintah simeulue mendistribusikan guru dengan baik. Inilah seharusnya yang menjadi catatan bung Dicky dan bung darman dengan GeRAK Simeuluenya untuk diatvokasi. Bukan malah memuji pemerintah yang benar-benar kesalahannya.
Padahal menurut UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Kalau gurunya tidak ada, bagaimana belajar efektif? Apakah mungkin tiga orang guru harus mengajar Fisika, Biologi, Bahasa Inggris, Kimia, Sejarah, dan lain-lain? Kita belum berbicara tentang buku-buku sekolah dan fasilitas lain. Kita baru berbicara tentang guru.
Saya berharap bung Dicky dan GeRAK simeulue bersikap profesional. Artinya, kalau memang pendidikan simeulue itu jauh dari harapan maka, sepantasnyalah mengatakan sesuai dengan realita yang ada.
Tidak perlu kita membuat senang pemerintah padahal kenyataannya memang masih ketinggalan dari daerah lain. Kalau itu tetap dilakukan maka, kapan bangkitnya pendidikan simeulue yang bermutu dan berkeadilan? Semoga ini menjadi catatan penting bung Dicky dan GeRAK simeulue. Wallahu’allambisawab.
Nirwanudin
Ketua Umum Gerakan Intelektual Muda Simeulue Aceh (GIMSA) 2013-2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H