Mohon tunggu...
Andi Syahrir
Andi Syahrir Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Menimbang Pengusiran Wartawan

5 Desember 2016   19:09 Diperbarui: 6 Desember 2016   18:28 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: www.mahasiswa-indonesia.com

Saya teringat pesan mentorku saat dididik menjadi wartawan sekitar 13 tahun silam. “Utamakan keselamatan saat meliput. Untuk apa berita bagus kamu peroleh tapi tak mampu menuliskannya karena kamu sudah mati.” Pesan itu sangat melekat dalam hatiku.

Tetapi dalam banyak hal keberanian dan kenekatan memang menjadi insting yang harus dimiliki seorang wartawan. Banyak wartawan yang dikenal karena kenekatannya dalam menerobos wilayah liputan dan sukses dengan laporan yang eksklusif.

Tidak berarti menafikan akal sehat. Analisa terhadap wilayah liputan merupakan hal prioritas yang pertama kali dilakukan sebelum ke lapangan, terutama area yang bernuansa konflik. Sikap, bahasa tubuh, mimik, perkataan adalah hal-hal krusial yang menentukan keberhasilan liputan.

Dalam hal ini, wartawan Metro TV tersebut agak mengabaikan aspek keamanan dirinya ketika sedang menjalankan tugas profesionalnya. Penyebutan data-data numerik dalam laporan pandangan mata adalah blunder mengingat perguliran isu yang sangat sensitif jika menyangkut soal jumlah.

Kedua, pengusiran Rifai Pamone dkk dengan pengusiran wartawan yang meliput rapat anggota dewan, misalnya, berbeda nuansa kebatinannya dalam konteks “mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang terkait kepentingan publik” seperti dikemukakan ketua AJI di atas.

Ada persoalan obyektifitas yang ditudingkan ke Metro TV. Kita sama tahu, dalam dunia pers, obyektifitas adalah sebuah ideologi. Menurut ilmuwan Swedia, Jörgen Westerståhl, obyektifitas media diukur dari dua kriteria, yakni faktualitas dan impartialitas.

Faktualitas berarti berita yang disampaikan berdasarkan fakta. Faktualitas dapat dipenuhi jika mengandung unsur kebenaran (truth), informatif, dan relevansi. Memenuhi kriteria impartialitas jika memiliki unsur seimbang (cover both side) dan netralitas.

Seiring memanasnya suhu politik Jakarta –yang lalu menasional– serta “dibumbui” dengan isu penistaan agama, telah mendorong terjadinya polaritas cukup ekstrem di masyarakat. Pemberitaan Metro TV –oleh pihak yang berpartisipasi ataupun bersimpati dalam aksi bela Islam– dinilai tak netral dan tak berimbang. Tidak memenuhi kriteria impartialitas. Begitu tudingannya.

Berulangnya model pemberitaan yang terindikasi tak obyektif menimbulkan semacam akumulasi kekecewaan publik atas Metro TV. Laporan “50.000 massa” Rifai Pamone menjadi pelatuk dari ledakan rasa ketidaksukaan atas dugaan ketidaknetralan, ketidakberimbangan, dan bahkan indikasi tendensius yang dilakukan stasiun TV ini.

Dugaan-dugaan ini tentunya membutuhkan pembuktian ilmiah. Lembaga seperti Dewan Pers dan KPI seharusnya bisa lebih proaktif merespons isu obyektivitas itu untuk menjernihkan persoalan. Jangan membiarkan Metro TV ataupun media lain menyelesaikannya sendiri karena akan selalu beraroma subyektif.

Perlu pihak ketiga yang netral. Tentunya Dewan Pers dan KPI seyogyanya dapat menjadi pemain sentral agar aksi-aksi melawan hukum seperti intimidasi dan pengusiran wartawan tak lagi terjadi di masa mendatang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun