Saya merasa agak centil menyapa mahasiswa baru dengan “adik-adik”. Tiba-tiba ingat umur. Mereka yang jadi mahasiswa baru tahun ini lahir ketika saya menjadi mahasiswa baru. Seharusnya mereka kusapa dengan ponakan. Tapi rasanya aneh menyapa mereka dengan “ponakan-ponakan mahasiswa baru”.
Delapan belas tahun lalu, saya masuk universitas. Dengan kegembiraan meluap-luap. Mimpi tentang manisnya bermahasiswa selangkah lagi bisa terwujud. Pagi buta, saya sudah berada di perempatan jalan protokol Kota Makassar, Urip Sumoharjo –AP. Pettarani. Sekarang telah ada flyover di atasnya. Mencari pengumuman kelulusan.
Di sana, saya baru menemukan sebuah surat kabar tentang pengumuman UMPTN (istilah kala itu), setelah berjalan lebih dari satu kilometer dari tempat tinggalku. Berjalan kaki menyusuri jalanan berharap ada penjual koran ataupun kios yang menjualnya. Nihil.
Barulah di perempatan jalan itu, saya menemukan koran yang dijual dengan harga di atas normal. Dengan jantung berdebar kencang, kubuka lembaran pengumumannya dan menelusuri nomor tesku. Wholah!!! Kutemukan namaku. Nomor tesku. Saya lulus. Saya diterima.
Sebelum koran itu kubawa pulang, kusempatkan membagi kebahagiaanku dengan meminjamkan ke beberapa orang yang juga ingin tahu nasibnya. Lalu saya berbalik setengah berlari. Beberapa jarak, saya menaiki becak tanpa menawar.
Kugenggam lembaran koran itu seperti menjaga sebongkah berlian. Tak sabar menyampaikan ke ibuku yang sengaja datang dari kampung. Saya tahu, beliau datang untuk membesarkan hatiku jika kenyataannya saya tak diterima.
*** *** ***
Kumasuki area kampus dengan rasa bangga tiada tara. Rongga dadaku begitu lapang menghirup udara kampus. Di saat berikutnya, saya berbaur dengan ribuan orang untuk mengurus segala tetek bengek administrasi. Dengan seluruh kepolosan dan keluguan seorang mahasiswa baru.
Tiba waktunya mulai berinteraksi dengan sesama mahasiswa. Kami menyebutnya senior. Barangkali sampai sekarang. Angkatan yang lebih jadul menyebutnya kakak tingkat. Senior sudah jauh hari mempersiapkan penyambutan kami.
Disambut dengan baliho yang dibuat dari kreatifitas para senior. Karya-karya itu sesungguhnya mengagumkan. Saat itu mesin cetak baliho belum dikenal. Kebanyakan bernuansa garang. Disambut dengan wajah-wajah bengis, sangar, gondrong, kucel, dan (berusaha) gagah…hehehe.
Di jurusanku, ada sebuah prosesi yang kami sebut dengan “luang penghilang ingatan”. Kami menyingkatnya dengan LPI. Di situ, mahasiswa baru laksana dilepaskan hak asasinya. Dipukuli ramai-ramai. Ditempeleng, ditendang, ditinju. Tidak dibuat babak belur dan lebam-lebam memang. “Hanya” dihajar pada bagian tubuh yang berefek sakit tapi tidak merusak dan mencederai.