Kota adalah ruang peradaban tertinggi manusia, didalamnya beragam budaya, adat, dan istiadat. Kota juga adalah tempat aktualisasi potensi diri manusia paling ideal. Jika kotanya sehat, maka penduduknya akan sehat, jika desain kotanya kreatif, maka penduduknya juga akan kreatif, jika kotanya hijau, maka penduduknya akan harmoni dengan lingkungan. Namun jika kotanya semrawut, juga akan berpengaruh ke penduduknya yang susah diatur dan berujung pada timbulnya konflik.
Teori psikologi lingkungan telah menguraikan bahwa keterkaitan lingkungan yang hijau, asri dan nyaman akan memengaruhi masyarakatnya, sehingga ada perubahan pola perilaku yang berpengaruh terhadap kondisi perkotaan. Saat ini, penduduk kota banyak yang memiliki rumah kedua selain diperkotaan, umunya mereka membeli pemukiman di daerah pedesaan yang jauh dari hiruk pikuk kota yang bising, gersang, dan tidak asri. Masyarakat kota yang memiliki rumah kedua memanfaatkannya kembali pada kebiasan pedesaan melepas lelah dan menghirup udara segar dengan cara bertani, bercocok tanam, atau bermain di taman-taman alami. Masyarakat kota cenderung mencari kebiasaan harmoni dengan alam, dengan gaya hidup demikian, mereka butuh sentuhan alami, menyatu dengan alam diantara aneka habitat-habitat yang memberikan nuansa berbeda yang memberikan ketenangan dan terhindar dari stres. Dalam ilmu psikologi dikenal istilah Coping Stress, cara menyelesaikan permasalahan agar terhindar dari stress. Stimulasi lingkungan dapat meningkatkan fungsi fisiologis sehingga lingkungan yang hijau bermanfaat bagi kesehatan.
Membayangkan kota masa depan seperti membayangkan peradaban manusia serta perilakunya kelak, merancang kota berarti merancang peradaban manusia. pada tahun 2050, sekitar 70 persen penduduk dunia terkonsentrasi di perkotaan (Joga, 2013). Menumpuknya penduduk perkotaan tentu saja akan menghasilkan dampak ekologis, psikologis, dan sistem sosial. Namun Inti dasarnya adalah ekologi, hilangnya habitat-habitat wilayah perkotaan akan berpengaruh buruk pada aspek psikologi manusia, begitu pula ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan ruang publik akan membentuk sistem sosial baru.
Hilangnya kawasan terbuka sejalan dengan hilangnya habitat. Sebagai contoh, jika kawasan terbuka yang diperuntukkan bagi anak untuk bermain hilang maka habitat tumbuhan juga hilang karena sejatinya kawasan terbuka yang diperuntukkan tempat bermain anak harus dipenuhi tanaman yang tidak hanya berfungsi sebagai pelindung tetapi juga menjadi sarana eksplorasi anak dalam mengembangkan kreatifitasnya. Jika ruang terbuka bagi anak hilang atau diubah menjadi ruang privat maka anak-anak akan tumbuh bukan dalam lingkungan bermain yang justru merangsang pertumbuhan otak, namun akan mengarah pada permainan-permainan produk teknologi gadget, perilaku ini ditengarai akan menghasilkan anak-anak apatis, hilangnya kepekaan sosial, serta ancaman radiasi yang berdampak pada penyakit kronis.
Apabila mereka bosan dengan permainan gadget, umunya beralih ke balapan liar, sampai pada begal motor bahkan narkoba. Situasi sosial ini terjadi karena ruang bermain dan olahraga kebayakan hilang disulap menjadi gedung-gedung privat. Saluran ekspresi jiwa muda teralihkan ke kebiasan buruk karena ruang terbuka yang seharusnya hadir sebagai ruang ekspresi hilang bersama dengan hilangnya habitat alam.
Jika hari ini situasi demikian hadir dalam ruang kehidupan, lalu bagaimana tahun 2050 nanti? Penduduk kota semakin padat, sementara lahan tidak bertambah. Jika pemerintah tidak segara mengambil kebijakan akan arti pentingya melindungi habitat sebagai organ penyangga ketersediaan oksigen dan efek pemanasan global, apa jadinya kota-kota besar nanti. Sementara arus urbanisasi tidak terbendung. Kenyataan demikian menuntut kita kreatif mendesain ruang kota agar kebutuhan hidup lestari terjaga.
Urbanisasi, dan Krisis Lingkungan
Ada tiga aspek permasalahan kota kedepan yang tak akan terhelakan, pertama urbanisasi, kedua globalisasi dan kemiskinan, dan ketiga kualitas lingkungan kota termasuk menghadapi dampak perubahan iklim. Arus urbanisasi setiap dekade menyumbang 20 persen penduduk kota, apabila mereka yang terkena arus urbanisasi tidak dibekali ilmu dan kreatifitas justru berdampak bertambahnya angka pengangguran sehingga menjadi beban kota, kondisi arus msyarakat urban demikian marangsang timbulnya pemukiman-pemukiman kumuh, miskin dan terbelakang. Lahirnya situasi demikian menimbulkan ancaman habitat mahluk hidup, sebab lingkungan yang jorok, semrawut, dan tidak tertata berdampak hilangnya kualitas air, tanah, dan ruang terbuka akibat mereka harus berdesakan mencari lahan pemukiman, tidak peduli bantaran sungai, ruang terbuka, bahkan tempat sampah. Implikasi arus urbanisasi dan arus pasar bebas terpaksa menyeret penduduk kota terjerumus dalam kemiskinan dan mendorongnya berprofesi sebagai pengemis, anak jalanan, pedagang asongan dan kaki lima bertebaran diruas jalan kota yang justru semakin menambah iklim kota yang tidak manusiawi.
Dari Kota Membangun Peradaban
Pembangunan kota selayaknya lebih mengutamakan manusia sebagai unsur utama disetiap aspek perencanaan agar tampil lebih manusiawi, meskipun terlanjur kesemrawutan kota telah terjadi di kota-kota besar indonesia bukan berarti kita berhenti dan menerima situasi demikian, namun upaya harmonisasi disegerakan dengan kepedulian kita terhadap lingkungan. Pemerintah sesegera mungkin mengambil kebijakan menutup langkah-langkah para investor mengerus lahan yang seharusnya menjadi milik publik.
Impian ruang kehidupan kota yang manusiawi mengingatkan kita kembali pada kota di abad sebelum Revolusi Industri, umunya kota-kota lebih mengutamakan manusia sebagai objek, sebagai contoh alun-alun kota, para Raja dan Bangsawan melakukan tradisi budaya di alun-alun kota, rapat dan, seni pertunjukan semuanya dilakukan di alun-alun, sehingga praktis masyarakat akan saling interaksi satusama lain sehingga terbangun komunikasi dan sistem sosial yang saling mengikat membentuk struktur masyarakat yang humanis.