Mohon tunggu...
Amir H
Amir H Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya kah???

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pemilu dan Golput (Dangdutan Lebih Asyik)

15 April 2014   21:54 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:38 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latah juga saya menulis tentang cerita Pemilu saya. Telat beybeh, Rapopo.

Pileg kemarin saya dipanggil menjadi saksi untuk caleg sebuah partai yang awalnya hanya ormas. Saksi dadakan, soalnya pemberitahuan menjadi saksi sehari sebelum acara coblosan. Pelatihan saksi diadakan di salah satu hotel di Makassar. Biasanya seorang saksi tahu dia adalah saksi dari caleg siapa misalnya. Saya malah tidak tahu saya saksi untuk siapa, hanya datang pelatihan. Pokoknya saya adalah saksi. Itu saja.

Setelah mengikuti prosesi acara dari pagi sampai jelang dinihari (seingat saya, pas sampai rumah, babak kedua Bayern Munchen vs MU sudah mulai). Secara umum, tidak ada kecurangan di TPS tempat saya menjadi saksi kecuali diajak begadang oleh KPPS sampai jelang subuh tapi tidak disediakan kopi dan anti nyamuk. Waktu itu kopi disediakan oleh saksi yang rumahnya paling dekat dengan TPS (cewek, anak SMA kelas 3).

Berhitung hari ke belakang, di hari kampanye, saya tidak pernah ikut kampanye, sekalipun. Dekat dengan tempat tinggal saya, ada sebuah lapangan yang kebanjiran pesanan. Kampanye selalu dilakukan di sana dan pastinya selalu ramai. Orang-orang datang memenuhi lapangan tentunya dengan atribut partai yang lagi kampanye. Kan gak ramai, lagi kampanye Golkar, datang-datang pake baju Demokrat.

Umumnya dimana-mana, pokok kampanye itu ada 3. Orasi, dangdutan dan bagi-bagi ‘sedekah’. Pun di sini.

Acara pertama, dangdutan, cara paling jadul untuk menarik massa ke lapangan. Penyanyi dangdut dipilih yang bohay. Penampilan dan suara yang sekseh. Tidak butuh waktu lama setelah penyanyi berputar-putar di panggung, massa pun mulai berkumpul. Biar lebih massif, beberapa orang tim sukses mulai membagikan sedekah ke massa. Biar yang lain ikut merapat.

Setelah massa merapat, acara dilanjutkan dengan orasi. Mungkin lebih tepatnya dongeng. Betapa tidak, orasi hanya seputar kelebihan partai sendiri, kekurangan partai lain, janji bila terpilih, janji bila terpilih dan janji bila terpilih. Khusus yang mencalonkan diri lagi, tidak ada yang mengungkapkan kenapa janjinya yang kemarin tidak ditepati. Emang mau?

Pemaparan visi misi menjadi tidak jelas. Yang menjadi jelas kemudian adalah bahwa hampir semua caleg memilik bakat terpendam yang sama. Bernyanyi dan berjoget, yang mana kedua hal tersebut saya juga bisa. Jangan-jangan saya juga punya bakat nyaleg?

Sebagai saksi, saya memegang Daftar Pemilih Tetap, hadiah dari KPPS. Duduk manis di kursi saksi, saya langsung menuju halaman terakhir, total 310 orang. Tidak ada satupun yang saya kenal (mungkin beberapa orang tua ada yang saya kenal muka, sering ketemu bahkan ngobrol. Panggilnya kalau bukan ‘Om’, ya ‘Tante’. Kesannya biar saya tampak muda). Dan dari 310 orang itu, hanya 214 yang datang. Dilihat dari jumlah undangan yang kembali. Tidak seorang pun yang datang bermodal KTP.

Acara penghitungan suara, sampai tengah malam sekali. DPR Pusat dua kali, DPD sekali, DPRD provinsi sekali, DPRD Kota sampai tiga kali. Weuw….. Dibagikan KPPS formulir C1 bersama saksi lain. Bantu ngisi katanya, tapi tidak dibagi honor buat bantu habiskan.

Pulang ke rumah, berbekal formulir C1 dan lembaran DPT, saya bandingkan dengan punya adik saya (dia juga saksi), hasilnya kurang lebih sama. Kurang lebih sama dalam hal jumlah partisipasi pemilih. Di TPS dia tidak sampai di angka 65 persen. Bahkan menurut dia, ada TPS tempat temannya menjadi saksi, hanya 50 persen lebih sedikit. Parah. Pertanyaan saya, orang-orang pada kemana ya?

Dari beberapa media yang pernah saya baca sebelumnya, tingkat partisipasi pemilih selalu berkurang di tiap pelaksanaan pemilu. Terakhir pemilu 2009 lalu, tingkat partisipasi pemilih ‘hanya’ dikisaran 70 persen. Bandingkan dengan pemilu pertama yang mencapai angka 90 persen lebih. Kira-kiranya kali ini hanya di kisaran angka 65 persen. Boleh naik boleh turun. Naiknya boleh berapapun, tapi kalau bisa jangan turun deh sebab saya akan ikut prihatin.

Jika demikian, maka jadilah golongan yang tidak berpartisipasi atau golongan putih adalah ‘pemenang‘ dalam pemilu kali ini. Ditanggal 8 April sore hari (saya ingat sebab hari itu pelatihan saksi di hotel), saya membaca sebuah koran yang ada di hotel, ada sebuah ulasan tentang golput (saya lupa penulisnya siapa, judulnya apa, koran apa).

Bahwa golput mengindikasikan tingkat keberhasilan sebuah pemilu. Golput itu sebuah parameter yang menunjukkan kepada kita apakah pemilu itu dengan segala jenis calegnya dengan segala jenis kampanyenya berhasil mempengaruhi pemilik suara untuk turut berpartisipasi atau malah membuat pemilik suara untuk lebih tidak peduli. Ibarat sarapan pagi, kalau enak saya makan. Kalau tidak enak, wassalam.

Kalau dangdutan pada ramai ngumpul di lapangan. Mungkin bila nanti (seperti lirik lagu)di pilpres, angka partisipasi pemilih bisa ditingkatkan jika di TPS ada acara dangdutan dan bagi-bagi ‘sedekah’. Tidak perlu orasi. Tapi teman saya bilang, bisa diperbesar jika rajin dielus, dipijat dan diurut. Lho???

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun