Seperti iklan obat anti nyamuk yang dulu ramai, jargonya, ya itu, yang lebih mahal banyak. Tapi tulisan saya di sini bukan untuk promosi obat nyamuk. Saya bukan agent kok. Hanya sebagai pengantar. Pengantar obat nyamuk? Bukan, hanya pengantar tulisan.
Saya mau menulis tentang pengalaman saya mendapatkan SIM beberapa waktu lalu. Hubungannya sama obat nyamuk? Gak ada.
Saya bertanya ke banyak orang untuk mendapatkan referensi,biaya yang mesti dikeluarkan untuk membuat SIM. Beragam jawaban mulai dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Dari kelas ekonomi sampai kelas bisnis. Menurut teman baru saya (kenal di ruang tunggu pendaftaran), beberapa jam saja kelar kalo pake kelas bisnis. Waktu itu saya masih berstatus mahasiswa, jadi pilihan saya yang murah meriah begitu meskipun dengan fitur ‘seadanya’.
Namanya juga kelas ekonomi, butuh 3 hari sampai SIM itu nyelip di dompet saya. Terjal dan berliku (kayak naik gunung saja). Diawali pra tes, kesehatan (seingatku waktu itu, semua lolos saja). Lalu tes yang sebenarnya. Pertama, simulasi berkendara di komputer yang jawabnya benar salah saja. Dari sekian soal, sudah lupa saya jumlah soalnya, salah saya 2. Mudah ini. Menunggu tes berikutnya malah disuruh pulang, datang lagi besok katanya. Padahal baru jam 1 siang.
Besoknya, hari kedua tes, saya datang pagi buat ikut antrian. Macam OJT. Berkendara zig-zag di jalur cone, kaki tidak boleh menyentuh tanah, termasuk saat mutar. Waktu ditawari motor panitia untuk atraksi, saya pilih pake motor sendiri. Secara, tarikan gas sama koplingnya saya sudah hapal. Jadi tidak butuh penyesuaian. Enteng dan lolos lagi.
Tidak pake pindah hari, tes berlanjut. Pemahaman mengenai rambu isyarat tangan. Tidak ada isyarat yang berulang, kesimpulan saya, benar. Habis kira-kira 5 menit saja. Menunggu lagi untuk tes berikutnya.Tes rambu isyarat gambar, dalam ruangan. Antri dulu. Petugas tes saya perempuan dengan setumpuk rambu gambar didekatnya. Ada gambar yang saya tidak tau arti rambunya apa. Jadi disuruh pulang dulu, besok boleh datang lagi katanya. Ya sudah, saya pulang. Jelang pukul 2 sore. Padahal saya datang jam 8 pagi.
Besoknya lagi, hari ketiga tes, saya datang lagi. Masih tes rambu isyarat gambar. Makasih sebelumnya buat Mbah Google, saya lolos soalnya semalamnya saya googling cari petunjuk. Berita baik, hanya beberapa pertanyaan saya langsung diarahkan ke tempat foto. Berfoto dan bertanda tangan. Mirip artis.
Sebelum istrahat siang, saya sudah berSIM. Kelar semua dengan ‘fitur’ seadanya. 3 hari ditambah 97 ribu rupiah (10 ribu buat tes kesehatan, 85 ribu buat PNBP, dan 2 ribu buat pres SIM). Diluar akomodasi dan transport.
*******
Saya sangat yakin bahwa salah satu penyebab kemacetan adalah mudahnya mendapatkan SIM. Jika kita mau fair tentang SIM, bisa jadi kita tidak akan menemukan sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas yang dari luar lebih mirip show room motor (dan mobil). Dibeberapa tempat malah, sekolah dasar. Pas pulang sekolah, tumpah ruah di jalan. Bisa jadi pula, kenakalan remaja macam balapan liar sampai geng motor bisa diminimalisir. Secara, pesertanya kebanyakan pemuda tanggung usia sekolah. Makin kesini bisa jadi banyak dealer motor yang pecat salesnya, pengangguran lagi deh. Lho kok????
Cuma motor? Mobil sama saja. Cuma anak sekolahan? Mahasiswa, orang kantoran, pensiunan juga. SIM paket bisnis. Selama saku masih di kandung badan, hadeeeh, masih ngadap ke atas, kata teman saya.
)* Tersinggung bagian dari masalah. Piiiiiisss…….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H