Suatu hari di pagi yang cerah, Dr Viru Sahastrabuddhe (ceritanya, Rektor ICE) bertanya di depan mahasiswa baru ICE tentang siapa yang pertama kali menginjakkan kaki di bulan. Semua menjawab Neil Amstrong. Kemudian sang Rektor bertanya lanjut, “Siapa yang kedua?”
Si Chatur mangap.
(3 Idiots)
Beberapa waktu ke depan orang mungkin orang akan lupa bahwa Golkar adalah pemenang kedua Pemilu Legislatif 2014 kemarin. Orang hanya akan mengingat PDIP sebagai pemenang dan bisa jadi orang akan mengatakan bahwa Gerinda pemenang kedua.
Sebagai orang awam, saya berpikiran bahwa seharusnya pemenang pertama, kedua dan ketiga masing-masing punya capres sendiri-sendiri sehingga nantinya akan ada tiga pasangan capres yang bertarung. Partai pemenang selanjutnya disilahkan berkoalisi dengan salah satu dari ketiga di atas agar kuota terpenuhi. Kan sudah kejadian di 2009 lalu. Demokrat dengan SBYnya, Golkar dengan JKnya dan PDIP dengan Megawatinya.
Tapi ya itu tadi, nasib jadi orang kedua. Golkar sedang menuju ke arah “tidak diingat” sebagai pemenang kedua Pemilu Legislatif tahun 2014. Perolehan suara sebesar 14, 75% nasional nyatanya tidak mampu memberinya kuasa untuk mengubah frasa ‘bakal calon presiden’ menjadi ‘calon presiden’.
Alih-alih menarik partai lain untuk bergabung dalam barisannya mengusung capres sendiri, Golkar malah seperti ‘dipaksa’ untuk bergabung Gerindra, yang note bene adalah pemenang ketiga. Sampai jelang teng, belum ada partai yang menyatakan bersedia bergabung.
Bukannya tidak berusaha. ARB selaku ketua partai sudah berusaha membangun komunikasi dengan partai lain. Dengan DPIP dan Demokrat misalnya. Hanya saja tidak ada kesepakatan. Partai kecil sepertinya juga enggan untuk mendekat, seperti sadar akan elektabilitas ARB yang ada di bawah kedua pesaingnya.
Sampai kemudian saya menonton TV dan mendapatkan berita bahwa Golkar menyatakan dukungannya kepada Gerindra. Jelang sore. Meskipun seperti yang saya katakan tadi, seperti ‘dipaksa’. Dipaksa mengakui kehebatan nomor 3, tanpa syarat lagi (maksud saya, posisi pres kan lebih prestise ketimbang menteri doang, pemenang kedua lho ini!). Meskipun diawal-awal, silutrahmi ARB - Prabowo dinilai kemungkinan koalisi kedua partai. Nyatanya, koalisi terjadi diakhir waktu. Hambar kan?
Jum’atan itu, kalau datang lebih cepat, dapat pahalanya sebesar gunung. Kalau datang telat, dapat pahalanya sebesar telur. Kata ustad zaman saya masih kecil. Ustadnya sudah kakek-kakek sekarang.
Yang hebat kemudian adalah JK. Kader Golkar yang menerima pinangan PDIP untuk diduetkan dengan Jokowi. Saya berani mengatakan bahwa popularitas JK masih lebih baik ketimbang ARB. Hal ini tentu saja akan memicu perpecahan di tubuh Golkar. Kadernya kemana, partainya kemana? Tapi kehadiran JK di pilpres nanti paling tidak dapat menjadi obat lupa (meskipun efeknya tidak terlalu kuat, menurut saya.) bahwa Golkar adalah pemenang kedua.
Jika Neil Amstrong orang pertama yang menginjakkan kakinya di bulan, tidak penting siapa yang kedua, yang penting adalah siapa yang mengantar? (Hahaha. Maksaaaa…….).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H