Belakangan ini, amat langka inisiatif yang mencerminkan spirit pengalokasian sumber daya Pemerintah Daerah untuk mengkaji potensi dan isu lingkungan pesisir dan laut setempat.
Faktanya, riset lebih banyak dikendalikan dan ditangani oleh Pemerintah Pusat atau universitas ketimbang level di bawahnya padahal mereka punya banyak periset handal. Jikapun ada, lebih banyak bersifat repetitif dan tak menghasilkan rekomendasi kuat dan ditindaklanjuti.
Oleh sebab itu, rasanya menyenangkan jika mendengar kabar atau inisiatif dari daerah yang berkaitan dengan penelitian sumber daya alam yang memungkinkan tenaga peneliti di organisasi perangkat daerah dan anggaran riset berbasis APBD seperti yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tidore Kepulauan ini. Mereka meriset sebaran dan populasi jenis unik seperti hiu berjalan (walking fish), satu dari sembilan jenis langka di dunia.
***
Informasi tentang riset hiu berjalan ini datang dari Abdul Khalish A. Samaun melalui Whatsapp ke saya. Slash, begitu saya memanggilnya, mengirimkan hasil penelitiannya tentang hiu, tentang Walking Shark atau hiu berjalan yang selama ini kerap menjadi target eksploitasi. Spesies cantik dan menawan ini adalah obyek rekreasi bawah laut namun juga kerap menjadi hasil pancing nelayan, ditangkap dan kemudian diabaikan.
Slash baru saja menyelesaikan sebuah studi keberadaan hiu unik tersebut di sekitar perairan Kota Tidore, Maluku Utara. Bersama rekan-rekannya yang lain seperti Ma’ruf Azis, Helmy Harsani, Suleman Abd. Radjak dan Iksan Dukomalamo, mereka menghasilkan sebuah laporan tentang jenis langka tersebut. Saya tertarik untuk menuliskan dan membagikannya agar bisa mendongkrak kepedulian kita pada spesies langka nan eksotik ini. Slash dan timnya bekerja untuk Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tidore Kepulauan.
“Metode yang tempuh dengan pengamatan lapangan, penentuannya berdasarkan informasi awal keberadaan spesies ini,” kata Slash. Menurutnya, ada 12 stasiun pengamatan, yaitu di Dermaga Goto, Tugulufa, Dermaga Fery Dowora, Akesahu, Soadara, Seli, Gurabati, Tongolo, Toloa, Mareku, Ome dan Cobo. Titik-titik ini merupakan bagian dari wilayah administrasi Kota Tidore Kepulauan, kota yang mempunyai luasan administratif dan ekologi seluas 685 km2.
“Kami mengambil data dengan menyelam pada kedalaman 2-15 meter pada malam hari sebab spesies ini dikenal sebagai hewan malam, nokturnal” begitu katanya. Hiu berjalan adalah ikan laut dangkal. Menurut Slash, plot pengamatan seluas 50 x 100 m, batas plot hanya berupa batas imajiner berdasarkan jumlah kayuhan fins.
Hiu berjalan dalam bahas Latin disebut sebagai Hemiscyllum halmahera. Adalah spesies endemik Pulau Tidore dan Halmahera. Beberapa nama lokal Tidore disematkan pada jenis hiu berjalan ini, seperti gurango futa, gurango hoga, gurango buta.
“Orang Ternate menyebutnya gurango futa,” katanya.