[caption id="attachment_147212" align="alignleft" width="300" caption="Anak Suku Bajo Pulang Sekolah (Foto: Kamaruddin Azis)"] [/caption] Pengalaman tinggal bertahun-tahun di Pulau Rajuni Kecil dan Pulau Tarupa di Taman Nasional Taka Bonerate selama rentang tahun 1995-2003 membuat saya selalu rindu untuk selalu dekat dengan mereka; berbahasa Bajo, bicara tentang laut dan dimensi sosial ekonomi mereka.
Selalu bergairah untuk mendengar kisah salah satu suku laut tangguh yang disebut mendiami pesisir Kalimantan, Brunei, Malayasia, Indonesia hingga Filipina ini.
Itu yang saya rasakan saat sampai di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo saat mengetahui bahwa ada perkampungan Bajo di Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, 100 kilometer dari ibukota Kabupaten Pohuwato, Marisa. Siang itu saya sempatkan menyambangi mereka seusai berkunjung ke Desa Marisa, Popayato Timur.
***
“Selamat Datang di Desa Wisata Torosiaje” itu yang menyambut kami saat sampai di sana. Berbelok kiri dari arah jalan ibu kota kabupaten kami melewati puluhan rumah yang merupakan permukiman bantuan pemerintah pusat untuk suku Bajo yang sebelumnya tinggal di atas laut, di balik hamparan bakau.
Rumah berukuran kurang lebih 6×8 meter itu banyak yang kosong namun ada beberapa pula yang terisi. Dari sisi perumahan ini kami parkir mobil dan berjalan ke jembatan yang membelah hutan bakau. Inilah jalan sekaligus jembatan menuju tangga yang mengarah permukiman mereka di laut.
Beberapa meter dari perkampungan “darat” ini saya melihat papan informasi: “Dinas Perhubungan, Parisiwata dan Kebudayaan Pohuwato” –Tempat Parkir, mobil Rp.5.000, motor Rp. 2.000,- bentor Rp. 3.000,-. Di sampingnya adalah gardu jaga lengkap dengan papan informasi. Karcis masuk obyek wisata Torosiaje dewasa Rp. 2.000,- dan anak-anak Rp. 1.000,- seusai dengan Perda No. 8 tahun 2005, SK Bupati kabupaten PohuwatoNo.15 tahun 2007. Tapi tidak ada yang berjaga di situ.
Dari pintu masuk itu kami membaca papan informasi lain tentang salah satu proyek yang mendorong upaya konservasi bakau di daerah itu. Juga papan informasi bertuliskan “Undang-Undang No.27 tahun 2007” tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil.
Di tempat lainnya tertulis pula “Jaga dan Lestarikan Sumberdaya Pesisir dan Laut Demi Masa Depan Anak Cucu Kita” Undang-Undang No.32 tahun 2009 Pasal 70 ayat 1,”Masyarakat Memiliki hak dan Kesempatan yang Sama dan Seluas-luasanya untuk Berperan Aktif dalan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.
Terdapat logo IUCN, CIDA, Lestaris Inc. Canada, Teluk Tomini SUSCLAM, Japesda dan Pemerintah Desa Torosiaje. Banyak pihak selain pemerintah yang memperhatikan suku laut ini.
Banyak sekali papan informasi yang bertebaran di pintu masuk menuju permukiman warga di tengah laut itu. Untuk sampai di ujung jembatan serupa huruf T yang akan menghubungkan daratan dan permukiam Bajao Laut itu kami mesti berjalan sejauh seratus meter.
Di kiri kanan kami ada hamparan bakau padat. Dari sini kami menyaksikan suasana permukiman di tengah laut. Ada bentangan kabel listrik di atas laut hingga ke kampung itu. Cuaca sedang teduh. Daun lamun dari dasar laut bergoyang diayun arus ringan.
Di tangga dermaga, saya bertemu Manto Pasanre, umur 37. Saat itu dia sedang mengantar anaknya ke darat. Dia juga menunggu penumpang yang akan kembali ke rumah. Sebagian besar adalah anak sekolah SMP di Popayato. Manto lahir dan besar di perkampungan di laut itu. Dia bersaudara 12 bersaudara. Manto ada anak 3.
“Menjemput anak sekolah” kata Manto saat saya tanya siapa yang dijemput. Penumpang membayar 2ribu sekali jalan. Kadang kala tidak membayar.
“Tergantung berapa bisanya” kata Manto lagi. Sebagai warga yang lahir dan besar Manto mengaku menyelesaikan SD di Torasiaje Laut, maksdunya di permukiman di lau. Menamatkan SMP di Popayato. Saat tamat SMP dia pergi ke Manado.
“DI Manado hidupnya tidak jauh dari urusan laut. Saya mencari teripang” katanya. Di dermaga menuju permukiman itu saya bertemu Mona. Dia sudah kelas tiga SMP. Mona rencana akan melanjutkan sekolah di SMK.
Dengan naik sampan milik pak Manto, kami berlima, ada pak Yusman, Noni, Pak Ma, Husein (staf Bappeda Pohuwato) dan saya. Perahu yang diisi lima orang itu buat saya tidak tenang. Saya khawatir dengan kamera dan gadget yang saya bawa. Salah duduk bisa membuat kami basah kuyup.
Saya duduk di tengah sampan. Pak Husain dan Noni di depan, paling depan pak Yus. Sementara pak Manto mengemudikan sampan. Mesin tempel 5 PK membawa kami membelah laut dangkal yang batasi hamparan bakau yang memadat.
Air sedang surut saat kami bergerak. Saat menuju permukiman itu terlihat satu perahu yang membawa tujuh penumpang. Sepertinya kembali dari urusan tugas di permukiman di tengah laut itu.
***
Perkampungan Torosiaje Laut merupakan perumahan yang berbentuk lingkar. Rumah warga yang dipetak memanjang cenderung melingkar ini di batas oleh jembatan. Bersambungan satu sama lain. Perahu menembus kolong jembatan. Ada tulisan “WELLCOME” di gerbang kampung. Poster Gusnar dan Tonny ada terpampang di sana. Di sana ada pula Perpustakaan “Mutiara Laut” Desa Torosiaje. Ada speedboat kuning yang tertambat serta keramba apung.
Ada jembatan sekaligus jalan utama kampung yang menghubungkan rumah warga. Bersambungan. Perumahan itu nyaris seragam dengan atap berwarna biru muda. Kami sampai pukul 12.00 wita. Perahu sandar di salah satu tangga menuju jembatan sekaligus jalan utama kampung itu. Di dekatnya, beberapa warga sedang duduk santai. Beberapa anak kecil sedang bermain di salah satu bangunan yang nampaknya baru dibangun. Di kaki rumah warga bertebaran bulu babi hitam.
Pada beberapa halaman rumah warga, mereka menjemur kayu bakar, bantal, ikan dan menjemur pakaian. Beberapa warga mengikat perahu. Di beberapa rumah masih terlihat kayu bakau yang telah dipotong-potong.
Anak-anak yang sedang bermain menyapa dan minta difoto. Layaknya rumah warga, ada yang tertata rapi adapula yang sepertinya tidak diurusi. Perkampungan yang dijalin oleh jembatan itu mengingatkan saya pada kios di mal-mal yang dihubungkan oleh koridor. Warga duduk santai depan rumah, ada yang hanya bersarung, tanpa baju dan menikmati waktunya.
“Bangunan di sini sudah lama, ada beberapa bagian yang baru berumur dua tahun” kata salah seorang di antara mereka. Di antara rumah warga terdapat Puskesmas Pembantu yang tertutup. Ibu-ibu dan anak gadis sedang ramai bercengkerama.
“Kami di sini sudah campur baur, tinutuan kata orang Gorontalo. Ada Cina, Minahasa, Sangir, Bugis, Tomini, Kaili” kata ibu Rusmin Pakaya. Dia yang dituakan di sekumpulan wanita di situ. Seorang lainnya bernama Hariani menyapa saya dengan bahasa Bajo. Saya membalasnya.
“Maningge rumahta?” kataku, di mana rumah ibu. Dia menjawab dengan menunjuk salah satu rumah kopel .
***
Permukiman di sini merupakan cikal bakal tiga desa yang telah dimekarkan yakni Desa Bumi Bahari, Torosiaje Jaya dan Torosiaje (Laut). Sejak ada gagasan merumahkan warga Bajo yang memilih beranak pinak di atas air, pemerintah mencari solusi dengan menawarkan bangunan rumah di darat. Persis di poros Popayato, di trans Sulawesi. Namun hanya ada beberapa orang yang pindah sebagian lainnya memilih berdiam di atas laut.
“Kami lahir dan besar di atas laut, jadi ya, susah juga tinggalkan kampung ini” kata mereka kompak. Pemerintah pun tidak kurang akal, dibuatkannya rumah panjang yang telah dibagi-bagi sebagai satu kompleks permukiman warga Bajo di Popayato. Alasanya supaya tertata dan rapi. Namanya perkampungan “Torosiaje Laut”
“Istilahnya, desa tiga serumpun” kata ibu Rusmin. Toro artinya tanjung dan siaje artinya sehati. Torosiaje adalah bahasa Bajo. Menurut Andri salah seorang warga Torosiaje Laut, kini ada 334 KK di Torosiaje Laut. Andri adalah lulusan SMP di Popayato yang juga pemuda desa.
“Dulu, pada tahun 2002 belum ada jembatan” katanya. Di Desa Bumi Bahari yang telah bangun puluhan rumah itu terdapat desa Torosiaje Jaya, di sana ada SMK Perikanan/Kelautan. Secara keseluruhan ditaksir ada 700 KK di tiga desa itu.
Dari Andri saya mendengar rencana bertemunya rumpun Suka Bajo sedunia pada bulan Nopember ini. Tapi dia tidak yakin kapan tepatnya.
“Saya hanya dengar, beberapa warga pernah bilang” kata Andri. Perkampungan ini bagaikan cincin yang dijalin oleh jembatan. Di setiap ruas jembatan terdapat rumah warga. Mereka mengikat sampan di samping atau di belakang rumah.
Pada siang hari kampung itu dibisingkan oleh deru perahu sampan yang membawa anak-anak sekolah atau warga yang pulang dari Popayato. Beberapa anak SMP berjalan di atas jembatan setelah didrop pada satu titik. Beberapa lainnya tetap di atas sampan dibawa ke arah lain. Inilah rutinitas mereka. Mereka menutup wajah saat kamera mengarah kepada mereka.
Beberapa orang tua jompo memandang kami yang bersiap kembali ke darat. Beberapa warga lainnya sedang santai depan rumahnya. Saya menyalam dan menyapanya.
“O Tikke ma Sulaya” O, dari Selayar, kata mereka saat mengetahui saya dari Selayar. Saya memang mengaku dari Bajo Selayar, Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan, Bajo ditemukan di Bone dan Selayar.
Torosiaje, kini secara administratif dibagi tiga, ada Desa Bumi Bahari, dan Torosiaje Jaya bagi warga Bajo yang memilih tinggal di darat serta Desa Torosiaje (Laut) bagi yang tidak mau meninggalkan laut. Begitulah pemerintah memberi pilihan. Juga demi membangun rakyatnya, dengan embel-embel pariwisata ekologis dan sekat-sekat administratif.
Pertanyaannya, apakah pemerintah mau menanggung risiko sosial dan ekonomi bagi suku yang sejatinya lahir dan besar di laut ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H