ANDAI saja, Jokowi-JK diusung partai biru, mungkin istilah Poros Maritim tak ada, yang lahir adalah Revolusi Biru. Haha, jangan dianggap serius, hanya berandai.Â
Oh ya, hari ini, Sabtu, 25/02, Raker Ikatan Sarjana Kelautan (ISLA) Unhas dihelat di Jakarta. Di Makassar Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia (ISKINDO) Sulawesi Selatan menggelar diskusi Cetak Biru Pembangunan Kolaboratif Poros Maritim. Judul yang kuat sekaligus ambisius. Untuk itulah, saya menuliskan beberapa catatan ‘tak baru ini’ terkait dimensi kayuhan anak-anak Kelautan menuju pusaran Poros Maritim rezim Jokowi-JK yang masih terlihat samar itu.
***
Di Makassar, ISKINDO, organisasi yang ketua pusatnya di Jakarta disunting Susi Pudjiastuti sebagai pejabat terasnya, tergugah menyigi isu dan menyusun cetak biru pembangunan terkolaborasi terkait Poros Maritim di Sulsel. ISKINDO lahir tegak pada 2015 dan diusung oleh alumni-alumni Ilmu Kelautan dari berbagi universitas di Indonesia. Ketua ISKINDO Sulsel, DR. Abdul Gaffar memandang penting untuk segera menyiapkan cetak biru (blueprint) bagi para pihak di Sulawesi Selatan dalam membangun potensi sumber daya kelautannya.
Blueprint sejatinya adalah kerangka kerja terperinci sekaligus landasan dalam penyusunan kebijakan yang berisi deklarasi tujuan dan sasaran, menyigi tantangan dan menyusun strategi solutif. Tidak hanya itu, blueprint juga menawarkan program, arah, fokus kegiatan serta langkah-langkah implementatif. Bukan hanya bagi ISKINDO tetapi institusi lain yang punya perhatian pada isu kelautan nasional.Hal-hal substantif dan penting untuk dipahami pada konteks penciptaan blueprint adalah apakah hakikat dari pembangunan kolaboratif dan poros maritim itu sendiri.
Apa sesungguhnya motif dan visi dari diksi ‘Cetak Biru Pembangunan Kolaboratif Poros Maritim atau sebutlah, Revolusi Biru itu’?
***
Pembangunan adalah pilihan menjawab agenda perubahan yang terencana. Pada konteks itu adalah perubahan yang direncanakan dan bersinggungan dengan diksi Poros Maritim (Dunia) dengan memandang posisi Sulawesi Selatan sebagai bagian dari Indonesia. Di dalamnya, sebagai sebuah praksis, kata kolaboratif meniscayakan identifikasi peran multipihak dan berkaitan dengan bentuk dan kapasitas yang dipunyai, apa yang bisa dibagikan.
Di situasi Indonesia, Poros Maritim merupakan muara kehendak rezim Jokowi-JK yang melihat peluang membangun Indonesia dengan menggetarkan sumbu potensi, kekayaan, khazanah, ‘Naga Tidur’ bernama kelautan. Fungsional dimaksudkan bahwa laut, bahari, samudera adalah fungsi-fungsi sosiologis, kultural dan politis yang dapat menjadi perekat sekaligus penguat ekonomi dan politik Indonesia. Tetapi tentu saja ini tak cukup, elemen lainnya harus menjabarkan dan mengidentifikasinya sesuai realitas lokal. Inilah yang harus diidentifikasi untuk menemukan aktor, menyigi kapasitas, pengalaman, pengetahuan, dan daya juangnya dalam membangun potensi sumber daya kelautan tersebut. Inilah tantangannya.
Pemilihan diksi pembangunan secara kolaboratif yang dipilih ISKINDO Sulsel seolah ingin menjawab asumsi dan ekspektasi bahwa laut tak semata sebagai ‘ruang eksplorasi, eksploitasi, ruang pamer kuasa, wahana sampah dari daratan belaka’ tetapi manifestasi dari dinamika membangun cita-cita bangsa yang menyejarah, berdaulat, berkelanjutan dan menyejahterakan. Manifestasi yang memungkinkan semua pihak berkontribusi positif, bukan sebaliknya. Bukan apa-apa, 30 tahun terakhir, degradasi sosial ekonomi dan ekologi telah mengantar komunitas di pesisir dan pulau tetap terpasung dalam ketidakberdayaan.  Semua pihak membaca itu.
Posisi strategis Sulawesi Selatan