“Mereka satu persatu ke atas, diselamatkan Roy dan Ibu Yani. Saya ingin ke bawah menjemput tetapi diingatkan adanya arus listrik, kaca-kaca jendela yang pecah, paku-paku. Kepikiran kalau mereka telah meninggal,” ujar Inten Iswara, anggota Ikatan Istri Dokter di Kota Garut kepada Kamaruddin Azis dari Yayasan Perkasa 89, (01/10).
***
Bencana banjir bandang Garut tanggal 20 September 2016 telah berlalu, 36 orang dikabarkan meninggal, ratusan luka-luka. Kerugian material ditaksir miliaran. Pemerintah bersama masyarakat sipil dan beragam pihak swasta bahu membahu menghidupkan harapan untuk pulih dan kembali bekerja.
Tanggal 1 Oktober 2016, Penulis bersama tim Relawan Perkasa 89 yang membawa bantuan pasca bencana datang ke Garut dan bertemu beberapa pihak yang kala kejadian berada di lokasi. Salah satunya Inten Iswara. Inten adalah istri seorang dokter bedah militer di Kota Garut dan ada di lokasi saat kejadian. Bersama Inten ada pula Dodik dan Depi, mereka tinggal di area Sekolah Luar Biasa SLB-C YKB Garut.
Dari Inten dan SLB inilah terkuak cerita mencekam di malam bencana itu. Malam di mana Sungai Cimanuk mengempaskan bangunan-bangunan di sekitarnya,termasuk sekolah dan asrama SLB yang di dalamnya terdapat anak-anak tunagrahita dan tunanetra.
Pada malam kejadian itu Dodik yang tunanetra sedang mengantar pulang murid SLB lainnya dari Bandung. Dodiklah yang menghubungi Depi untuk mengecek lokasi SLB-C YKB. Depi harus berjalan sekitar satu kilometer ke arah jembatan sebab di sisi jembatan itulah SLB berdiri. Ada bangunan kelas dan asrama di sempadan sungai Cimanuk yang sedang meluapkan airnya malam itu. “Saya ke SLB saat asrama sudah diblokir petugas. Asrama sudah rubuh,” kata Depi.
“Alhamdulillah tidak ada korban jiwa dari murid SLB,” ucap Dodik didampingi Depi menceritakan suasana malam itu. Mereka semu selamat padahal jaraknya hanya 20 meter dari tepi sungai yang meluap itu,” katanya.
Pengakuan IntenMenurut Inten Iswara yang ditemui di Villa Aleyra Garut (01/10) suatu berkah juga sebab malam itu sebagian besar anak-anak SLB sedang ada di Bandung untuk tampil di Savoy Homann untuk acara khusus penyandang disabiltas. Hanya sebagian saja yang tinggal di kompleks SLB. SLB yang menjadi fokus cerita berdiri tahun 1975 dan bangunan baru seperti kelas dan asrama dibangun tahun 90-an.
“Tanggal 19 September, pukul 3 sore, hujan mulai rintik-rintik, lalu menderas hingga malam, membesar di jam 11 malam, air sungai meluap. Ada dua sungai yaitu Cimanuk yang relatif besar dan Cikamiri yang kecil, inilah yang menumpahkan airnya, ke titik di sekitar SLB itu,” papar Inten.
“Kita akhirnya bisa mengevakuasi mereka setelah subuh. Saya dan suami yang mengambil inisiatif untuk penanganannya. Suami menghadang korban yang ke arah Cimanuk dan di selatan di Cikamilir. Klinik Mahesa menjadi tempat penampungan dan perawatan saat itu. Saat itu juga tentara mulai menyisir lokasi,” kata Inten.