Ini cerita tentang sepak terjang Wiji Thukul yang dihidupkan kembali melalui film. Wiji, kenal? Jujur saja, saya belum mendengar atau membaca ihwal Wiji Thukul di rentang 80an hingga 90an. Meski bagian dari generasi yang lahir di awal tahun 70an dan mengenyam pendidikan di universitas di ujung 80an di Makassar, saya sungguh tak pernah mendengar kiprah politiknya, tak pernah membaca karya sastranya kala itu. Poor me!
Wiji Thukul yang lahir tanggal 26 Agustus 1963 itu adalah pencipta puisi perlawanan rakyat tahun 80an. Namanya acap diperbincangkan publik di tahun 90an karena ranting kering dan api perlawanan yang disulutnya. Puncak kehebohan ketika dia dikabarkan hilang beberapa saat sebelum Soeharto jatuh di tahun 98. Namanya dikaitkan dengan hasutan sosial ala PRD Partai Rakyat Demokratik hingga puisi yang disebarnya sebagai bentuk perlawanan pada rezim Soeharto kala itu.
Nah, kalau soal puncak ‘karir’ Thukul ini, saya mulai membaca beberapa artikel tentangnya di tahun 2000an. Thukul bernama asli Wiji Widodo. Dia datang dari Surakarta-Solo. Beberapa informasi yang saya baca menyebutkan Thukul adalah satu dari 13 korban penculikan di rentang 1996-1998. Keberadaan mereka belum diketahui hingga kini.
Tentang puisi, banyak orang menyebutkan bahwa puisi-puisi Wiji Tukhul adalah peluru tajam dari aktivis gerakan pro-demokrasi. Puisi itu sekaligus sumbu penggerak dan mengobarkan semangat dan mengibarkan aksi para demonstran. Lawan! Hanya ada satu kata, lawan! Wajar jika kemudian puisi-puisinya diberi judul: Aku Ingin Jadi Peluru. Buku yang diterbitkan Penerbit TERA di Magelang. Isiya sebanyak 136 puisi yang kemudian dipecah menjadi Lingkungan Kita Si Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-lain, Puisi Pelo dan Baju Loak Sobek Pundaknya. Menilik judulnya kita bisa menarik simpulan tentang motif dan muara isinya, perlawanan.
Lantaran ingin mengetahui lebih dekat, saya mengiyakan ketika ditawari sepucuk tiket pemberian organisasi masyarakat sipil INFID (sila browsing ya). Adalah Widya, perempuan Aceh yang bekerja untuk DFW Indonesia yang mendapat rezeki nonton film berjudul Istirahatlah Kata-kata itu. Widya dan beberapa teman kuliahnya mendapat akses untuk memborong beberapa tiket.
Sabtu, limabelas menit sebelum pukul 12 siang, dari bilangan jalan Tebet Utara II, di kantor DFW, saya, Subhan Uya, Wido Cepaka Warih, Irsan serta Widya bergerak menuju Blok M Square dan diantar oleh supir yang tak berhenti memegang hapenya. Kami ke sana untuk menonton film dimaksud, (19/01).
Uya yang saya tahu adalah pembaca buku pergerakan sosial, aktivis LSM dan pemuja penyulut perlawanan kelas. Irsyan adalah mahasiswa yang rumit, humble dan mencinta kebebasan ekspresi. Widya Savitri adalah aktivis kelautan di ISKINDO sementara Wido adalah pejalan dan pembelajar sosial, aktivis Indonesia Mengajar. Klop sudah, dengan latar itu, saya merasa menemukan para peminat jejak Wiji Thukul dengan menonton film besutan sineas Yosep Anggi Noen. Yosep, pria kelahiran 15 Maret 1983 ini fokus pada film-film yang sarat kritik sosial. Anggi telah memproduksi dua film panjang Istirahatlah Kata-Kata dan Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya. Untuk film pendek, beberapa judul yang telah dibikin adalah Rumah (2015), Kisah Cinta yang Asu (2015), Genre Sub Genre dan Laddy Caddy Who Never Saw a Hole in One di tahun 2014. Sangar ya, judul-judulnya?
***
Setelah menonton kurang lebih 1 jam 20 menit seperti hitungan saya, rasanya penting untuk mencurahkan kata-kata, pandangan dan suasan kebatinan atas suguhan film itu, tentu sebagai penonton biasa. Bukan kritikus apalagi pengadil.
Pertama, meski terlihat datar, tanpa alun mendebarkan, film tersebut sukses menggambarkan peta nasib para pejuang demokrasi. Penonton diboyong ke suasana Kalimantan Barat, Pontianak, jalan kota, kawasan Pecinan, rawa-rawa, sawit, perkampungan sebagai titik yang dipilih Wiji untuk bersembunyi. Â Peta nasib Thukul adalah gambar jalan sempit, kendaraan roda dua khas tahun 90an yang lamban namun berbunyi keras dan deras. Juga nama-nama khas demonstran yang santer terbaca saat itu.Â
Ada Paul, Paul adalah Thukul itu itu sendiri, ada Martin, Thomas, hingga Ida yang diperankan Melanie Subono. Â Thomas digambarkan terlihat tenang dan baik hati, lalu dari Martin, saya mendengar kata-kata bir, berak, hingga kimak.