Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dilema Nelayan Patorani di Fak Fak, Papua Barat

15 Juni 2017   11:51 Diperbarui: 15 Juni 2017   12:03 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolres, penulis, Roy, Bastian, Zulkifli, Semuel (foto: istimewa)

“Mereka ini kan kapal dari Sulawesi Selatan, harapan saya, kita bikin MoU antara kedua Pemerintah Provinsi. Silakan datang, antara Pemprov Sulsel dan Papua Barat. Terutama dikaitkan ke WPP 715, jadi ini memang harus bersama,” usul Zulkifli.

WPP yang dimaksudnya adalah wilayah pengelolaan perikanan 715 yang dirilis Pemerintah Pusat yang melingkupi beberapa wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua Barat bahkan Sulawesi Tengah termasuk wilayah Fak Fak. Menurut Zulkifli yang juga diiyakan oleh Semuel Konjol dan Bastian Wanma, yang harus dilakukan adalah duduk bersama antara Pemerintah Sulsel dan Papua atau secara umum yang wilayahnya masuk di WPP 715.

“Masih ada ketidaktahuan nelayan atas penerapan UU baru 23/2014 yang berdampak pada pengelolaan ruang laut kabupaten dan provinsi. Para nelayan di Kabupaten/kota perlu diberikan informasi,” katanya lagi. Dia mengatakan bahwa MoU antar Provinsi ini bisa melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebab telah lintas provinsi. Bukan hanya urusan perizinan lintas provinsi tetapi bagaimana memastikan bahwa izin yang diberikan itu satu pintu dan bisa dilacak wilayah operasinya, mengecek kesesuaian alat tangkap boleh dan tidak boleh hingga pemantauan bersama.

Pantauan DKP Papua Barat sejauh ini terbaca bahwa satu provinsi bisa saja memberi izin namun yang diberi izin kerap beroperasi di provinsi lain, misalnya keberadaan kapal-kapal penampung ikan hidup, ikan segar termasuk nelayan ikan terbang. Olehnya itu, mendesak untuk memastikan dasar pemberian izin, memastikan kewenangan daerah, kabupaten/kota dan provinsi termasuk Pemerintah Pusat agar tata kelola perikanan dan kelautan dapat berdampak positif bagi nelayan dan daerah sebagai amanat UU 23/2014.

Selama ini pemberian izin eksploitasi diberikan oleh Pemerintah Daerah hanya mempertimbangkan aspek ekonomi atau pendapatan asli daerah saja sementara kepentingan pelestarian, pencadangan dan keseimbangan ekologi diabaikan. Oleh sebab itu, apa yang ditempuh oleh Kapolres Fak Fak terkait dilema nelayan pencari telur ikan terbang ini diapreasiasi oleh tim DKP Papua Barat sebagai hal baik untuk solusi bersama.

Kepada Kapolres disampaikan bahwa sejauh ini telah ada upaya untuk mengikuti amanah UU 23/2014 dimana akan ada transfer kewenangan dari kabupaten/kota ke Provinsi termasuk pengelolaan ruang laut dan perikanan tangkap.  Bastian Wanma, Kepala Bidang Pengelolaan Ruang Laut DKP Papua mengatakan kelemahan selama ini adalah penegakan hukum sehingga perlu kerjasama antar pihak termasuk kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi untuk menjalankan UU 23/2014 sebagai amanat Pemerintah Pusat.

Ditambahkan Zulkifli, telah ada pemikiran untuk menata perizinan kapal-kapal yang datang dari luar provinsi Papua Barat melalui draft surat edaran Gubernur. Isinya meminta para Bupati dan Walikota untuk tidak lagi mengeluarkan izin bagi 10 GT ke bawah. Persoalan selama ini menjadi rumit karena adanya motif menambah pendapatan asli daerah dengan mengeluarkan izin penangkapan. Lahirnya UU 23/2014 seharusnya bisa mengerem longgarnya perizinan ini.

“Harapannya, surat edaran itu diharapkan memberi informasi ke SKPD teknis seperti DKP untuk menghentikan izin bagi kapal ukuran 10 GT atau di atasnya, termasuk di bawah 5 GT, karena kabupaten sudah tidak punya izin apapun terkait perikanan tangkap kecuali budidaya. Itu ada di UU 23/2014. Kalau izin penangkapan dan konservasi wilayah laut semua ke provinsi,” kata Zulkifli.

“Pemerintah Papua Barat sangat welcome, mari duduk bersama,” ujarnya.

“Saya sampaikan ke teman nelayan, bukan melarang tetapi pembatasan. Kalau diekspolitasi terus bisa habis semua, induknya juga. Aturan ini tidak melarang saklek tetapi memikirkan masa depan. Jangan sampai mereka ribut-ribut, wilayah Fak Fak aman saja,” timpal Gazali. Dia juga mengusulkan bahwa banyaknya armada dari Sulawesi Selatan yang masuk ke Fak Fak ini adalah kesempatan untuk membikin festival nelayan—yang bisa mendatangkan manfaat bagi daerah.

Kisruh nelayan Patorani di Fak Fak dapat dijadikan pelajaran untuk dicarikan solusi, mengajak pihak terkait seperti Pemerintah kabupaten/kota, provinsi, KKP maupun pelaku usaha untuk duduk bersama termasuk di dalamnya menindaklanjuti konsekuensi UU 23 berkaitan transfer personalia, sarana prasaran dan dokumen (P3D) dari kabupaten/kota ke provinsi.  Pada silaturahmi itu, peserta sepakat untuk mendorong sosialisasi terkait UU 23/2014 dan menghimbau adanya jembatan komunikasi antar Pemerintah Provinsi terutama antara Sulawesi Selatan dan Papua Barat terkait keberadaan nelayan pencari telur ikan terbang di Fak Fak yang telah berlangsung sejak 10 tahun terakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun