“Disebut demikian sebab ikan hiu ini selalu ada di dasar perairan. Seperti menempel,” terang Slash. Bagi Slash, jenis ini merupakan hiu yang pasif, tak bergerak bahkan saat orang berjalan di sekitarnya. Karenanya kerap terinjak tanpa disengaja.
Hiu berjalan telah lama dikenal oleh warga Tidore namun nanti dalam tahun 2013 spesies ini diperkenalkan secara luas oleh para ahli sebagaimana dikutip dari Journal of Ichtyology. Jurnal ini adalah salah satu wahana mengupas pernak-pernik ikan dunia termasuk ikan hiu berjalan yang dibahas pada edisi Juli 2013 (Kompas , 29/08/2013).
Peneliti Mark Erdmann dari Conservation International beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa salah satu pembeda ikan hiu berjalan dengan spesies hiu lainnya adalah pada corak dan pola warnanya. Terdapat sepasang bintik di bawah kepala dan ada bintik-bintik lainnya namun lebih kecil di bagian perut dan ekor. Hingga kini, hanya ada sembilan spesies hiu berjalan yang ada di dunia. Enam dari sembilan spesies tersebut ada di Indonesia, tiga lainnya ada di Papua Nugini dan Australia.
Satu yang ditemukan di Indonesia adalah spesies Hemiscyllum halmahera di perairan sekitar Tidore atau Halmahera. Sejarah penemuan jenis ini bermula ketika seorang penyelam asal Inggris bernama Graham Abbot dalam tahun 2007. Graham mengambil gambar walking shark di perairan selatan Halmahera dan mengirimkan fotonya kepada Conservation Internasional (CI) untuk mengkonfirmasikan spesies tersebut. Spesies yang kemudian disebut berbeda dengan spesies lainnya. Jenis ini merupakan endemik khas Tidore atau Halmahera.
“Sebagai spesies endemik, kami punya kepentingan untuk meneliti dan mengamati distribusinya. Perlu diantisipasi untuk menghindari kepunahan,” kata Slash. Menurut Slash diperlukan identifikasi, pendokumentasian lokasi sebaran hiu berjalan ini termasuk menyiapkan alternatif untuk kepentingan konservasi dan pengelolaannya.
“Sasarannya adalah menjadi bahan untuk kegiatan pengelolaan, agar menjadi perhatian bersama untuk konservasinya. Harapan kami agar dapat ditetapkan sebagai salah satu spesies yang dilindungi undang‐undang,” kata Slash yang juga alumni Kelautan Universitas Hasanuddin ini.
Dalam laporan tertulisnya, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tidore Kepulauan Hamid Abd. Latif, S.Pi mengatakan bahwa hasil riset ini membuktikan bahwa laut dan pesisir Kota Tidore Kepulauan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, salah satunya adalah keberadaan hiu berjalan (walking shark).
“Hewan laut yang selama ini dikenal sebagai gurango buta‐buta oleh masyarakat Tidore tak disangka merupakan salah satu dari sembilan jenis hiu berjalan yang ada di dunia. Oleh sebab itu, anugerah ini harus dijaga dan dilestarikan,” tulisnya.
Hasil survey tim Slash menemukan bahwa dari 12 titik lokasi pengamatan, terdapat sebanyak 10 titik ditemukan hiu berjalan. “Kesepuluh lokasi tersebut adalah di Dermaga Trikora Goto, pantai Tugulufa, Dermaga Feri Dowora, Tanjung Seli, Periran Soadara, Akesahu, Tanjung Tongolo, Tanjung Mareku, Ome dan Jou Boki Toloa,” kata Slash. Di Guhilao Gurabati dan Tanjung Cobo tidak ditemukan adanya hiu berjalan.
Survey ini menunjukkan bahwa rentang kedalaman ditemukannya hiu berjalan ini pada kedalaman 2 hingga 3 meter. Baik pada kondisi pasang maupun surut. Hiu berjalan ditemukan bersembunyi di dalam lubang yang sulit dijangkau.