Mohon tunggu...
Kamaruddin Azis
Kamaruddin Azis Mohon Tunggu... Konsultan - Profil

Lahir di pesisir Galesong, Kab. Takalar, Sulsel. Blogger. Menyukai perjalanan ke wilayah pesisir dan pulau-pulau. Pernah kerja di Selayar, Luwu, Aceh, Nias. Mengisi blog pribadinya http://www.denun89.wordpress.com Dapat dihubungi di email, daeng.nuntung@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Sketsa Senja Pucat di Cambaya

2 Juli 2010   03:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:09 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[1] Jarum jam menunjukkan pukul 16.00 saat perahu kami mendekat ke Kampung Cambaya, Tanakeke, Takalar, Sulawesi Selatan. Karena air laut surut, perahu tidak dapat merapat ke pantai. Bulan telah menarik separuh muka air laut. Dengan was was, kami melipat kaki celana dan mulai turun perlahan dari perahu Di darat, beberapa warga sedang mengaso di kolong rumah. Anak-anak gadis saling mencari kutu. Dari kejauhan beberapa anak main bola di atas tanah berpasir. Lunas perahu kami mulai menyentuh pasir, di antara pepohonan bakau yang masih tumbuh padat menghijau. Walau laut terlihat tenang, angin sepoi, langit di atas Kampung Cambaya kelabu. Saya meredam hasrat memotret kampung itu dari sela pohon bakau. “Saya mengelus -tepuk kamera di tangan, sabar ya,”. Bersama beberapa kawan, kami mampir ke rumah Basri. Basri salah satu aktifis pada Forum Pukat, Forum Peduli Kepulauan Tanakeke. Dia hendak memperlihatkan suasana kampungnya. Perkampungan yang tidak terlalu besar, hanya ada sekitar 20an rumah yang terlihat di sana. [2] Masih di atas perahu, mata saya mengarah ke seorang wanita. Rambutnya telah beruban dan sedang duduk mematung di tangga rumah panggungnya yang tidak lebih dua meter dari atas tanah. Dia duduk di tangga kedua dari atas dari enam anak tangga rumahnya. Dia duduk dengan kaki menyimpang. Wajahnya kosong. Wanita ini mengenakan sarung kecoklatan dengan baju kembang merah hati dasar putih abu-abu. Saya mendekat. Ada dua baju sedang dijemur di balok penyangga tiang rumah. Juga berkibar satu sarung batik lusuh. Tiga jendela rumahnya tidak berdaun. Hanya besi berkarat yang ditutupi kain plastik. Jendelanya tertutup rapat. Dua jerigen warna hijau tua di kolong rumah tersedia, sepertinya berisi air tawar. Dari rumahnya terdapat sumur yang berjarak dua meter dari tepi pantai. Rumah nenek ini beratap seng yang sudah berkarat. Dindingnya dari helai bambu yang dianyam(gamacca; Mks). Ada dua sarung tua yang menutupi bagian atas dinding rumah bagian depan ditambah tiga seng tua yang menutup bagian atas dinding. Sengnya dipasang bersilangan. Warna dinding rumah yang buram tanpa cat kontras dengan sarung dan baju yang dikenakan wanita tua ini. Saya suka wajahnya. Wajahnya mengingatkan nenekku almarhum Aisyah Daeng Baji yang telah berpulang tahun lalu di bulan Mei 2009 karena mempunyai warna dan model rambut. Rambutnya ikal. Saya kira, jika dia gerai pasti terlihat cantik. [3] Saya terkesan dengan gaya duduknya. Wajahnya beku. Gurat di wajahnya yang terlihat mengeras. Dia seperti menyimpan beban. Saya terhenti. “Apanjo. Apa itu,” Sapaku menunjuk terpal yang menutupi gundukan. “O agara anjo,” O, itu rumput laut,” katanya. “Punya siapa?,” Tanyaku. “Bukan punyaku,” Jawabnya. Punya tetangga. “Kalau itu punya siapa?,” Lanjutku menunjuk terpal yang lain. Bukan juga punyanya. “Tinggal sama siapa,?” Tanyaku seperti tak memberinya jeda. “Sama suami dan anak-anak,” Terangnya.Wanita ini menjawab dengan datar, seperti tak punya gairah. “Dimana suami?,” Tanyaku lagi. “Suami saya ada tapi istirahat,” Jawabnya. “Dia sudah tua jadi kerjanya istirahat, tidur . Begitu saja,”. “Lalu anak-anaknya dimana,?” Saya bertanya lagi. “Saya ada empat anak. Dua sudah menika h. Sekarang masih ada dua di rumah,” Jawabnya. “Mana, umur berapa?” “Dua-duanya lumpuh. Sudah besar. Yang satu perempuan usianya dua puluhan tahun yang satunya seumuran bapak,” Katanya tentang dua anaknya. “Saya terhenyak,” “Yang lelaki lumpuh kaki sebelah, yang perempuan masih gadis tapi sudah tidak bisa bangun. Dia hanya tidur terus di rumah,” Saya bertemu dengan anak lelakinya yang datang mengenakan sarung. Dia mengatakan bahwa lumpuhnya ini karena pengaruh “angin buruk”. “Saat itu saya baru pulang dari Takalar, saya naik jolor (perahu). Saat menyeberangi perairan Tanakeke tiba-tiba tangan hingga kaki saya tak bisa digerakkan sebelah,” Ungkapnya. Lelaki ini lumpuh sebelah. Beruntung dia masih bisa jalan,walau pincang. “Dia mengaku lumpuhnya ini bukan karena pengaruh penyelaman,”. Beberapa nelayan di pulau-pulau kerap diserang lumpuh karena resiko penyelaman yang buruk. [4] Di usia senja, wanita tua berambut ikal yang sedang duduk di tangga rumah itu, tentu merasakan bagaimana beratnya mengurusi dua anak muda di rumah kecil itu. Betapa repotnya mengurus anak perempuannya yang lumpuh. Betapa beratnya hidup saat suami sudah tua, tak bisa melaut, memukat kepiting rajungan atau bertanam rumput laut. Wanita itu, terlihat kosong. Nyaris tak pernah tersenyum saat saya berpamitan. Kami tidak lama di kampung itu. Tidak sampai sejam tapi saya merekam denyut kehidupan yang mulai melemah dan mungkin akan terus melemah. Ah, saya membayangkan satu sketsa. Sketsa keadaan saat wanita tua itu mengurusi anak perempuannya yang tak bisa jalan ke dapur. Anak perempuan yang tak mampu meraih gayung mandi untuk membersihkan diri. Juga, suaminya yang mulai renta dan sakit-sakitan seperti yang diakuinya. Hidup seperti tidak mudah bagi wanita tua itu… Gowa, 01072010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun