Mohon tunggu...
Muhammad Kasman
Muhammad Kasman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir pada 11 Desember 1979 di sebuah dusun kecil bernama Pajjia Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sempat sekolah di SDN No. 226 Pakkasalo, SMPN Pattirobajo dan SMAN 2 Watampone.\r\n\r\nSelama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam. Menjadi gelandangan dan kerja serabutan selama dua tahun sebelum menjadi jurnalis di sebuah media online nasional di akhir 2007.\r\n\r\nAwal 2008, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan bergiat di Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Mengisi waktu luang dengan seorang istri dan dua orang anak, sambil sesekali menulis puisi.\r\n\r\nMenyukai hujan dinihari dan embun pagi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

...dan Basmalah pun Tersingkir!

13 Maret 2012   01:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:09 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13316017761771993121

Entah dari mana asal usulnya dan sejak kapan dimulainya, saya juga tidak tahu pasti. Tapi yang jelas, kebiasaan ini telah ada sejak sebelum saya nongol sebagai manusia ke dunia 32 tahun silam. Kebiasaan memukul gong oleh para pejabat ketika membuka acara telah menjadi konsumsi sehari-hari pemberitaan media sejak saya masih bayi sampai saya sendiri mempunyai bayi sekarang ini.

Saban hari, kita menyaksikan seorang pejabat memukul gong dalam rangka membuka sebuah acara, apakah peresmian ini-itu, pembukaan seminar, pemakaian gedung baru, perusahaan baru, penataran dan sebagainya. Setelah itu, tabuhan gong yang bernada “gung... gung... gung...” ditingkahi dengan tepuk tangan dari para hadirin, “plok.. plok... plok...” sungguh meriah.

Gong  sebagai sebuah alat musik, merupakan pelengkap dalam aransemen karawitan Jawa. Gong terbuat dari tembaga kuning dan berbentuk bulat dengan benjolan di tengah. Apabila di pukul, akan menimbulkan bunyi yang cukup nyaring dan berdengung “gung...”, sampai sekarang juga masih tetap menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa.

Memang, pada zaman hidupnya Wali Songo dan menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga sebagai salah seorang dari kesembilan wali yang kesohor tersebut menjadikan gong sebagai alat dakwah. Sunan Kalijaga merupakan penyebar Islam yang menempuh metode akulturasi budaya, beliau memberikan muatan makna Islam dalam pementasan wayang yang disertai iringan gamelan.

Oleh Sunan Kalijaga, bunyi “gung...” diartikan sebagai ajakan untuk menga-gung-kan asma Allah. Dalam urutannya, gong dibunyikan setelah bunyi saron yang mengeluarkan bunyi “nang.., ning.., nong..”. bunyi ini diartikan “nang kono, ning kono, nong kono” (di sana, di sini) mari semua gung (meng-agung-kan) nama Allah. Dan terakhir ditutup dengan suara Gurrr! dari gong raksasa yang dimaknai nyegur (mencebur) ke dalam Islam.

Namunpun ada pemaknaan seperti demikian dari Sunan Kalijaga, apakah pantas pemukulan gong tetap ditradisikan untuk memulai sebuah acara, atau peresmian ini-itu? Bukankah sebagai umat Islam, Muhammad telah mengajarkan untuk memulai setiap aktivitas dengan melafadz basmalah, “bismillahir rahmanir rahim”.

Okelah, mungkin para pejabat yang memukul gong tersebut juga tetap mendahuluinya dengan ucapan basmalah, tapi apakah basmalah belum cukup kalau hanya sekedar mengharapkan rahmat Allah? Lalu buat apalagi ada pemukulan gong segala? Untuk membuat pembukaan acaranya terasa lebih khidmat? Sekali lagi, apa basmalah belum cukup?

Yang lebih parah lagi kalau ternyata pemukulan gong ini menjadi syarat mutlak terlaksananya sebuah acara pembukaan atau peresmian ini-itu. Dengan demikian, maka pemukulan gong dianggap sudah cukup dan basmalahpun terselip entah di sisi lidah sebelah mana. Padahal Muhammad SAW telah mewanti-wanti “setiap perbuatan ummatku yang tidak didahului dengan bismillah tidak akan memperoleh rahmat”.

Pun pembukaan acara-acara organisasi yang berideologi Islam, juga ditandai dengan pemukulan gong. Say Cuma berharap, mudah-mudahan yang memukul gong tidak lupa untuk melafadz basmalah dan beliau tetap menempatkan basmalah sebagai kunci keberkahan dan tidak pada pemukulan gongnya.

Entah apa yang melandasi pilihan pemukulan gong ini oleh panitia pelaksana acara-acara organisasi Islam tersebut, mudah-mudahan mereka punya alasan mendasar untuk ini dan tidak sekedar ikut-ikutan. Jangan sampai mereka menjadi sekumpulan pemuja gong sebagai benda keramat dan menjadi penganut klenik di zaman modern ini, karena tidak memiliki kesadaran budaya.

Kalau memang panitia pelaksana memilih pemukulan gong karena dilandasi oleh spirit Sunan Kalijaga, itu merupakan sesuatu yang patut dilakukan tentu dengan syarat bahwa pesannya tersampaikan kepada khalayak. Tapi apakah pemahaman itu tersosialisasi dengan baik? Saya sih berharap demikian, meskipun cukup sangsi dengan hal ini.

Nampaknya, sekeras-kerasnya gong itu dipukul bertalu-talu, tetap saja suara basmalah yang dilafadz dalam lubuk hati yang paling rahasia sekalipun akan lebih cepat merambat dan menelusup ke dalam pendengaran Allah, Tuhan seru sekalian alam. Lalu kenapa kita semua masih saja membudayakan kebiasaan yang tidak terfahami rujukan historisnya secara syar’i ini? Entahlah, mungkin memang kita semua sudah mengidap latah budaya...

ilustrasi saya comot dari http://kemlu.go.id

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun