Mohon tunggu...
Muhammad Kasman
Muhammad Kasman Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir pada 11 Desember 1979 di sebuah dusun kecil bernama Pajjia Desa Pakkasalo, Kecamatan SibuluE, Kabupaten Bone. Sempat sekolah di SDN No. 226 Pakkasalo, SMPN Pattirobajo dan SMAN 2 Watampone.\r\n\r\nSelama kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam. Menjadi gelandangan dan kerja serabutan selama dua tahun sebelum menjadi jurnalis di sebuah media online nasional di akhir 2007.\r\n\r\nAwal 2008, memilih menjadi Pegawai Negeri Sipil, dan bergiat di Pemuda Muslimin Indonesia Cabang Takalar. Mengisi waktu luang dengan seorang istri dan dua orang anak, sambil sesekali menulis puisi.\r\n\r\nMenyukai hujan dinihari dan embun pagi.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Misteri We Tenri Sanna

15 Februari 2012   04:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:37 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini saya akan menagih janjinya, janji seorang lelaki paruh baya yang kusapa dengan panggilan ayah, tak seperti teman sebayaku yang memanggil orang tua lelakinya dengan panggilan etta. Kemarin malam dia menjanjikannya padaku, janji untuk menceritakan sebuah dongeng pengantar tidur. Dongeng yang kutuntut kepadanya setelah saya tahu bahwa para pangeran dalam dongeng senantiasa diberi dongeng pengantar tidur sebelum mereka terlelap di malam hari.

Lelaki itu, lelaki yang kupanggil ayah adalah seorang guru madrasah aliyah di ibu kota kabupaten yang berjarak sekitar lima belas kilo meter dari kampung tempat kami menetap. Setiap pagi dia berangkat kerja dengan mengenakan baju seragam guru yang tak pernah digantinya selama seminggu, dia berangkat dengan menumpang mobil angkutan yang tak punya jadwal khusus.

Saya sangat penasaran malam ini, dongeng apakah yang akan ia ceritakan sebab sangat jarang dia kulihat bercerita. Sepulang dari sekolah, dia selalu sibuk membolak-balik kertas hasil tugas siswanya, hanya sesekali dia bicara singkat dengan ibuku. Apakah dia akan mendongeng dengan baik, padahal setahuku, dia bukan guru bahasa, dia seorang guru akidah. Jangan-jangan dia akan menceritakan kisah tentang neraka yang menakutkan atau malah tentang bidadari yang kecantikannya luar biasa.

Tapi kok lelaki itu belum juga mendekati tempat tidurku? Dia masih saja asyik memelototi layar televisi hitam-putih yang gambarnya dikerubungi semut hitam itu. Dia lagi menikmati Dunia Dalam Berita, tontonan wajibnya setiap malam. Lamat-lamat saya dengar Usi Karundeng sedang menceritakan tentang gempa di Brasil, banjir di India dan kebakaran hebat di Kanada.

Terkadang saya merasa heran dengan kebiasaannya itu, menonton Dunia Dalam Berita sudah menjadi wajib baginya, sebagaimana wajibnya sholat lima waktu bagi seorang muslim. Tak ada satupun malam tanpa Dunia Dalam Berita, kecintaannya pada siaran itu hanya dikalahkan oleh kecintaannya pada kegiatan mengajarnya. Makanya saya ragu, apakah dia akan menepati janjinya malam ini untuk bercerita.

Saat Usi Karundeng mengakhiri informasinya, dia beranjak mematikan televisi hitam-putih itu dengan langkah pelan, maklum rumah panggung, gerakan sekecil apapun akan membuat seluruh rumah merasakan gerakan tersebut. Setelah itu, lelaki dengan model rambut Umar ini mendekati tempat tidurku yang kelambunya sudah dari tadi saya turunkan.

Tentang model rambut Umar, nampaknya ayahkulah yang menemukannya sebab tak ada satupun tukang cukur di pasar kampungku yang tahu dengan model rambut ini sebelum ayahku meminta rambutnya di model seperti itu. Saat itu, Umar Wirahadi Kusuma sedang menjabat sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Ketika akan memangkas rambutnya, ayahku datang ke tukang cukur langganannya, Daeng Janggo’ dengan membawa poster Wakil Presiden yang dia pinjam dari sekolah tempat dia mengajar. Sejak itu, model rambut seperti model rambut ayahku dinamai model Umar. Kalau kalian mau mengikuti model rambut ayahku, datang saja ke Daeng Janggo’ dan minta model rambut Umar.

Perlahan dia sibak pintu kelambu dan duduk di pinggir tempat tidur, sepertinya siap memenuhi janjinya semalam.

“Kau belum tidur kan, La Upe’?”

“Belum ayah, saya menunggu dongeng yang ayah janjikan semalam.”

“Serius kau mau mendengar ayahmu ini berdongeng?”

“Tentu ayah, saya rindu suasana dimana seorang pangeran senantiasa mendengar dongeng pengantar tidur sebelum terlelap.”

“La Upe’, maukah kau berjanji bahwa dongeng ini tidak boleh engkau ceritakan kepada orang lain?”

“Memangnya kenapa ayah?”

“Dongeng ini bukan dongeng biasa, dongeng ini telah diisi mantra oleh salah seorang tokoh dalam dongeng itu sendiri, Nene Pakande namanya.”

Mendengar keterangan ayah, saya menarik kain sarung hingga menutupi hampir seluruh tubuhku. Nene Pakande adalah sosok yang begitu menakutkan, bukan hanya bagi saya yang masih kanak-kanak, bahkan bagi sebagian besar warga di kampung kami, Nene Pakande masih menjadi momok yang sangat menakutkan.

“Kenapa terdiam? Apakah kau berubah pikiran?”

Tak mau dicap sebagai penakut, saya memberanikan diri untuk berkata tidak.

“Tidak ayah, saya tidak takut. Bukankah itu sekedar dongeng?”

“Kalau memang demikian, baiklah saya akan menceritakan dongeng ini padamu.”

Saya menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri.

“Pusatkan pikiran, dan minta perlindungan dari Allah agar tidak terkena tuah ilmu Nene Pakande dari dongeng ini.”

Bismillahirrahmanirrahim....” Rapalku perlahan, kedua belah tanganku kutiup, saling kugosok-gosokkan, lalu kuusapkan ke seluruh tubuh dengan harapan Nene Pakande tidak akan menggangguku. Melihat tingkahku, lelaki yang kupanggil ayah itu tersenyum, lalu memperbaiki posisi duduk untuk memulai ceritanya.

*     *     *

Tersebutlah sebuah kampung yang bernama Tengrita, hiduplah empat orang sahabat karib La Lebba’ Pale’, La Lampe Tappi Bangkung, La Umpe’ Rai, dan La Paddaga-daga Bulu. Mereka bertiga baru berusia belasan, tapi sudah terkenal karena kemuliaan hati dan ketulusan jiwa yang mereka miliki. Mereka tak segan untuk menolong orang yang kesusahan, membantu yang kesulitan, dan meringankan beban mereka yang sedang dirundung masalah. Karena sifat baik mereka itulah maka ketiganya sangat disukai oleh penduduk kampung Tengrita.

La Lebba’ Pale’ dengan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis. Sudah banyak orang tua yang mencoba menjadikannya sebagai menantu tetapi di tolaknya dengan halus. Pemuda yang terkenal karena kedua telapak tangannya sangat luas, bahkan menurut cerita memiliki telapak seluas lapangan sepak bola ini, belum berniat untuk mengakhiri masa lajangnya.

La Lampe Tappi Bangkung, seorang pemuda berperawakan tinggi dan agak kurus. Rambutnya dibiarkan menjuntai sampai di pertengahan punggung, terlihat selalu tersisir rapi dan diikat di bagian ujung dengan pita warna merah jambu. Kumis tebal melintang di atas bibirnya yang lumayan tebal menunjukkan karakternya yang pemberani. Ke mana-mana dia membawa parang yang demikian panjang, sehingga ujung parangnya masih kelihatan di kaki tangga rumah panggungnya meskipun dia sudah meninggalkan rumah selama tiga bulan lamanya.

La Umpe’ Rai, sosok yang paling jorok di antara mereka bertiga. Pemuda ini tak pernah mandi sekalipun sejak di lahirkan, maklum saja dia phobia air. Inilah yang membuat dakinya demikian tebal menyelimuti seluruh tubuhnya, kecuali pada bagian telapak kaki. Ketebalan dakinya memang tak tanggung-tanggung, untuk mengukur ketebalannya, pernah suatu kali parang panjang milik La Lampe Tappi Bangkung dipakai untuk menusuknya. Ketika parang itu sudah masuk menembus daki La Umpe’ Rai, ujung pedangnya belum menyentuh kulitnya sedikitpun.

La Paddaga-daga Bulu adalah sahabat paling muda diantara mereka berempat. Pemuda pendek gempal ini seringkali di cemooh karena tubuhnya yang cetek, namun ini berbanding terbalik dengan keahliannya bermain sepak raga. Di kampung Tengrita, dia terbiasa menjadikan gunung sebagai pengganti bola dalam permainan sepak raga. Sekali dia menendang gunung, terkadang sampai berhari-hari gunung itu baru muncul dari balik awal untuk dia tendang kembali. Memang, dia memiliki kaki Selebar tangan La Lebba’ Pale’.

Mereka adalah empat sahabat yang tak terpisahkan, di mana ada salah seorang di antaranya, di situ pasti ada yang tiga lainnya. Seorang mendapatkan kesulitan, mereka berempat pasti ikut terlibat menyelesaikannya. Mereka saling mendukung dan melindungi, bahkan mereka telah bersumpah untuk saling mengangkat sumpah sebagai saudara dengan menggunakan jempol darah. Tentu pengecualian bagi La Umpe’ Rai untuk menggunakan jempol kaki, karena jempol tangannya sangat susah dilukai akibat begitu tebalnya daki yang menutupi.

Suatu hari mereka mendengar kabar tentang seorang gadis cantik jelita mengadakan sayembara untuk mencari calon suami yang bisa mendampinginya dalam mengarungi kehidupan. Barang siapa yang bisa bertahan untuk tidur di ruamh sang gadis, semalam saja, maka dia adalah pemenangnya, dan berhak menjadi suami si gadis. Gadis yang hidup sebatang kara ini, tinggal pada sebuah rumah panggung yang demikian besar di kaki gunung Temmaka-maka.

Sudah banyak pemuda dari berbagai kampung yang mencoba peruntungan dalam sayembara untuk menjadi suami gadis yang mengaku bernama We Tenri Sanna ini, namun tak ada satupun yang kembali. Pemuda itu seperti hilang, lenyap menguap ke udara. Begitu mereka memasuki pintu rumah tersebut, tak pernah lagi mereka muncul keluar, bahkan untuk sekedar menikmati indahnya pemandangan kaki gunung Temmaka-maka dari teras rumah.

Empat sahabat dari kampung Tengrita merasa penasaran dengan kejadian ini, mereka merasa ada yang tidak beres dengan si gadis yang muncul entah dari mana itu. Kehadiran We Tenri Sanna yang telah memakan korban puluhan pemuda dari berbagai kampung membuat mereka berniat mengusut apa sebenarnya yang terjadi. Merekapun menyusun rencana pengintaian.

Ketika seorang pemuda kampung Tengrita yang bernama La Pute Mata berangkat menuju rumah We Tenri Sanna, La Lebba’ Pale’ dan para sahabatnya telah lebih dulu ada di sekitar rumah tersebut melakukan pengintaian. Begitu La Pute Mata tiba di halaman rumah, La Paddaga-daga Bulu telah siap di bawah rumah, La Umpe’ Rai di sisi kiri, La Lampe Tappi Bangkung di sisi kiri dan La Lebba’ Pale’ di atap rumah.

Ketika La Pute Mata memasuki pintu rumah, dia langsung disambut dengan ramah oleh We Tenri Sanna, mereka berbincang secara hangat, menikmati berbagai penangan enak yang disiapkan tuan rumah. Tak ada yang mencurigakan sampai malam tiba. La Pute Mata dipersilahkan untuk istirahat di sebuah kamar di sisi depan rumah sebelah kanan sambil menunggu tuan rumah mempersiapkan hidangan makan malam yang akan dihidangkan pas tengah malam nanti.

Menjelang tengah malam, keanehan pun dimulai. Ketika La Pute Mata terlelap, dari arah belakang rumah muncul seekor babi jantan gemuk dengan memakai rantai emas menaiki tangga rumah bagian belakang. We Tenri Sanna membuka membuka pintu dan menyambutnya, begitu melewati pintu, babi jantan itu menjelma menjadi sesosok tubuh lelaki tinggi, yang gagah perkasa, dadanya bidang, bahunya kekar. Mereka lalu berbincang dan bercengkrama sejenak.

Begitu waktu menunjukkan pas tengah malam, lelaki jelmaan babi itu naik ke atas meja makan yang di atasnya telah tertata berbagai piring dan mangkuk kosong yang terbuat dari keramik. Dia kencing ke dalam mangkuk sayur, berak ke atas bakul nasi, lalu muntah ke atas piring ikan, dan meludah ke piring sambel. Begitu dia selesai, di atas meja makan telah terhidang berbagai jenis makanan nikmat yang mengundang selera.

Tak lama kemudian, dia meninggalkan We Tenri Sanna yang sudah berhias secantik mungkin. Begitu melewati pintu, lelaki itu kembali menjelma menjadi seekor babi jantan gemuk dengan seuntai rantai emas melingkar di leher. Saat itulah, We Tenri Sanna membangunkan La Pute Mata dan mengajaknya untuk bersantap malam dengan diterangi oleh pelita. Semua kejadian itu, disaksikan oleh La Lebba’ Pale’ dan kawan-kawannya dalam diam dan nafas yang tertahan.

La Pute Mata menyantap hidangan dengan lahap, nasi putih yang mengepul dan beraroma harum, sayur paria kambuh berkuah santan, ikan Baronang bakar, sambel tomat, serta ikan Bandeng di masak pallu kacci. We Tenri Sanna tak ikut makan, hanya memperhatikan La Pute Mata sambil sesekali melemparkan senyum yang luar biasa indahnya.

Begitu selesai makan, La Pute Mata merasa demikian mengantuk sehingga dia pamit untuk melanjutkan istirahatnya. Namun baru beberapa langkah dia beranjak dari meja makan, tubuhnya terhuyung, melayang jatuh ke lantai kayu. Dengan cepat We Tenri Sanna melompat menahan tubuh tersebut dengan satu tangan, dan dengan ringannya, tubuh La Pute Mata dia angkat masuk ke ruang tidurnya sendiri yang berada tepat di samping ruang makan.

Tubuh La Pute Mata diletakkan di atas pembaringan yang berbalut sutera, lengannya disedekapkan di atas dada ibarat laku sembahyang. Dari samping lemari hias, We Tenri Sanna mengeluarkan sebuah mangkuk dupa, dinyalakannya, dan asap beraroma harum pun mengepul memenuhi seantero ruangan. Dia duduk bersila di atas pembaringan tepat di samping tubuh La Pute Mata, mulutnya merapal mantera dan sepasang tangannnya menari-nari di sekujur badan La Pute Mata.

Ketika asap dupa sudah mulai memudar, perlahan We Tenri Sanna mengecup sepasang bibir La Pute Mata yang menyebabkannya terbangun. Tak ada kata yang keluar dari mulut La Pute Mata, hanya seuntai senyum yang begitu sayu dan pandangan mata kosong. Perlahan dia turun dari pembaringan, diikuti oleh We Tenri Sanna. Mereka berjalan keluar kamar dan langsung menuju pintu belakang.

Begitu pintu belakang tersibak, di sana ternyata telah menanti seekor babi jantan gemuk dengan memakai rantai emas. La Pute Mata terus melangkah, ketika melewati pintu menuju tangga, tubuhnya pun menjelma menjadi seekor babi, tak jauh beda dengan babi yang menunggunya di ambang pintu. Kedua babi itu pun berjalan beriringan meninggalkan rumah menuju hutan. We Tenri Sanna menutup pintu belakang, menuju kamar tidur, dan terlelap hingga pagi.

Begitu sinar mentari berpendar menyinari bumi, berita kehilangan La Pute Mata juga tersebar demikian cepat. Penduduk desa kembali gempar akan kejadian aneh yang tak bisa terjelaskan ini. Tiba-tiba saja La Pute Mata raib seperti ditelan bumi, tak ada kabar, tak ada berita. Seakan-akan kehilangannya memang sudah dipastikan sejak dulu.

Empat sahabat dari kampung Tengrita, baik La Paddaga-daga Bulu, La Umpe’ Rai, La Lampe Tappi Bangkung dan La Lebba’ Pale’ pun tak mampu menjelaskan peristiwa aneh yang mereka saksikan bukan dengan mata pinjaman, melainkan dengan mata mereka sendiri yang melekat di kepala masing-masing. Mereka yakin, kehilangan La Pute Mata jelas berhubungan dengan kejadian aneh yang melingkupi kehadiran We Tenri Sanna di kaki gunung Temmaka-maka, tapi bagaimana membuktikannya?

*     *     *

“Ayah, apa La Lebba’ Pale’ dan kawan-kawannya berhasil mengungkap misteri We Tenri Sanna?” Saya penasaran dengan kelanjutan kisah yang diceritakan ayah.

“Kau mau tahu kelanjutannya La Upe’?”

“Mau dong ayah..” Jawabku antusias.

“Kalau begitu, tidurlah. La Pute Mata akan menjelaskan apa yang terjadi dengan dirinya sejak dia menjelma menjadi seekor babi di tangga belakang rumah We Tenri Sanna.”

“Baiklah, selamat tidur Ayah.

“Selamat tidur Nak.”

Lelaki yang selalu kusapa ayah itu membetulkan letak selimut di atas tubuh ringkihku. Perlahan dia beranjak dan mematikan lampu kamar sambil menutup pintu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun