Pemilihan Walikota Pekanbaru yang telah berlangsung sebanyak dua kali, dimana dalam dua kali pemilihan tersebut pasangan Firdaus - Ayat memenangkannya. Kemenangan yang seharusnya mengakhiri sebuah proses panjang pemilihan pemimpin Kota Pekanbaru. Sesungguhnya kemenangan ataupun kekalahan dalam sebuah kompetisi, baik itu olahraga maupun dalam politik adalah hal yang biasa. Namun untuk soal yang dianggap sebagai sebuah kepentingan yang perlu "dipertahankan", maka soal menang dan kalah tadi akhirnya menjadi sebuah pertarungan "habis-habisan".
Kepentingan yang harus di pertahankan, menjadikan kompetisi ibarat pertarungan hidup dan mati dua orang gladiator dalam sebuah colloseum. Pekanbaru sebagai ibukota Propinsi Riau sangat vital dalam kalkulasi politik parpol-parpol yang ada di Riau. Kita ketahui bahwa Parpol yang ada di Propinsi Riau ini adalah 'kepanjangan tangan" dari Parpol di Jakarta (pusat), dan tentunya sedikit banyak membawa "kepentingan" dari induknya di Pusat (Jakarta). Bisa menempatkan "bidak" mereka di Pekanbaru adalah sebuah keuntungan, terutama menjelang Pemilihan Gubernur Riau 2013 bahkan bisa saja untuk kepentingan politik yang lebih besar yaitu PILPRES 2014. Ada setidaknya dua keuntungan PARPOL menempatkan "bidak" nya di Kota Pekanbaru, antara Lain adalah jumlah penduduk yang besar dibandingkan kabupaten-kabupaten lain, sebagai ibukota juga adalah keuntungan tersendiri karena "sorotan" baik keberhasilan maupun kegagalan akan lebih terlihat. Jadi saya melihat "kekisruhan" ini tidak melulu soal menang atau kalah bagi kedua pihak. Karena yang menang masih harus berjuang untuk mendapatkan "mahkota"nya, sementara pihak yang kalah tidak ingin begitu saja kehilangan muka dan kehilangan "posisi strategis". Hanya saja yang mungkin perlu menjadi perhatian adalah bahwa jangan sampai kepentingan parpol di pusat akhirnya merusak kesatuan dan keutuhan masyarakat Pekanbaru dan juga Riau.
Kedua belah pihak (baik yang menang atau yang kalah) tidak akan mendapatkan keuntungan dari situasi seperti ini (kalah jadi abu menang jadi arang), terlebih masyarakat yang akhirnya hanya akan menjadi korban dari "kebebalan politik".  Kita juga seharusnya sadar, bahwa konflik-konflik yang menyangkut perebutan kekuasaan jangan sampai menyeret kita lebih jauh. Sepanjang konflik itu masih bisa melalui koridor demokrasi yang ada, biarkan saja para pelaku politik tersebut melaluinya. Sejarah mengajarkan banyak hal kepada kita, bahwa tidak ada kekuasaan yang abadi. Sejarah juga mengajarkan pada kita bahwa dalam politik tidak ada permusuhan yang abadi dan tidak ada pertemanan yang abadi, semuanya tergantung pada kepentingan.
Saran saya, masyarakat harus lebih dewasa dari para politikus dalam bertindak. Jadi tidak hanya menjadi alat demi mewujudkan kepentingan para pihak yang "berseteru".  Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H