Semilirnya angin malam dan deraian airmata serta lambaian tangan dari sahabat mengiringi kepergian ku untuk berhijrah ke salah satu kota yang menjadi pusat dari pemerintahan negeri ini, yah kota yang menjadi tumpuan hidup pagi para perantau dari suluruh penjuru di berbagai daerah, yang memiliki begitu banyak perbedaan baik itu perbedaan suku ,ras ,bahasa, kebudayaan dan sebagiainya tertampung di kota ini.
mereka –mereka yang menimba ilmu , menjadi pekerja ,serta mereka-mereka yang meniti carier semuanya berkompetisi serta berlomba – lomba untuk menjadi seorang pemenang melainkan bukan seorang pecundang di kejamnya perlakuan ibu kota ini, kota metropolitan ya itulah sebutan bagi tempat yang ku pijak pertama kalinya, disinilah akan ku awali hidupku menjadi seorang perantau.
Cita-citaku untuk menjadi seorang yang berpengaruh dinegeri ini membangkitkan naluri serta jiwa yang sudah cukup lama tertidur dalam peraduan diri ini . Langkah pertama yang kulakukan untuk membuka gerbang masa depan adalah menjadi seorang mahasiswa disalah satu kampus yang kumuh di ibu kota ini .
Disinilah aku bertemu dengan para pembesar-pembesar masa depan ,para pejuang-pejuang intelektual yang siap untuk mendobrak dan membuat sebuah paradigma baru untuk bangsa ini, mereka mengajarkanku banyak hal dimulai dari menbentuk jiwa-jiwa pemimpin,berorganisasi ,dan ilmu-ilmu baru yang sangat bermanfaat bagi diriku kedepannya.
Pengetahuan-pengetahuan yang menjadi solusi dan kritikan sebagai pemecah problema yang terjadi di negeri ini terlontar dari bibir-bibir penuh makna yang akan menjadikan ku pantas menyandang status sebagai MAHAsiswa.
Krisis kepercayaan dan moral yang berkembang seperti virus yang mematikan bagi setiap aliran darah penerimanya dinegeri ini,telah menjadi momok yang menakutkan diantara selaksa peristiwa yang terjadi dalam sebuah fenomena migrasi kekuasaan.sedangkan aku ,masih terdiam dalam pijakan-pijakan kebimbangan dan ketidakpastian dari ribuan pertanyaan dan keinginan yang merasuki setiap gelagat tubuh secara tersirat.
Namun apa yang kutemukan didalam hotel intelektual yang sebagian besar penghuninya menyandang gelar sebagai sarjana tingkat pertama dan kedua, hanya seonggok masalah yang masih menjadi bangkai-bangkai dari sebuah retorika dan dogma yang kian hari menjelma menjadi doktrin tanpa ada hasrat untuk menyelesaikanya.
Sementara itu secara pemikiran dan visualisasi dari sebuah kenyataan yang memperlihatkan bobroknya sebuah system pemerintahan yang sedang dijalankan oleh orang-orang penyandang status “pemimmpin” .sama seperti dihotel intelektual ini, kembali aku tersudutkan oleh statusku sebagai MAHAsiswa (apakah aku harus melawan dan mendobrak system itu? atau aku hanya menjadi boneka-boneka politikus dan mafia-mafia hukum dinegeri ini?). pertanyaan yang masih kucari keabsolutan dari jawabannya
Dari catatan lusuh ini aku mencoba menuangkan ide yang berasal dari sebuah halusinasi seorang perantau yang ingin menjadi seorang pemimpin dan telah menginjakan kakinya didataran ibu pertiwi ini, agar tak ada lagi suara rintihan-rintihan yang terdengar disepanjang jalan dan trotoar-trotoar Ibukota.
Ide-ide tuh adalah ,sbb:
1.Hilangkan budaya memilih dan menadahkan tangan ,tetapi wujudkan budaya untuk dipilih dan memberi sebuah kepercayaan dan kebebasan dalam menjalani arti sebuah kekuasaan.
2.Bukan lagi berdiskusi,beretorika dan berteriak-teriak atas nama rakyat didepan pintu anggota dewan, tetapi sudah waktunya kita berwacana dan berbicara banyak atas nama rakyat tanpa takut disingkirkan secara perlahan dari sebuah kearogansian system kekuasaan pragmatis.
3.Hilangkan budaya mencari dan berdiam diri dalam bekerja tetapi tampilkan penciptaan lapangan pekerjaan yang menjadi prioritas utama dalam menciptakan sebuah system yang baru di negeri ini.
*to be continue…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI