Mohon tunggu...
daeng enal
daeng enal Mohon Tunggu... profesional -

I'm a blogger

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Sumur Jodoh dan Sembilan Bersaudara

23 Februari 2015   19:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:39 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424670439642415916

Di sebuah puncak bukit, hiduplah Sembilan bersaudara. Delapan diantaranya adalah laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil mereka sudah ditempa dan dibekali pendidikan agama oleh kedua orangtuanya. Namun, kesedihan mendalam dirasakan sembilan bersaudara ini saat beranjak dewasa. Mereka harus berpisah dengan kedua orang tuanya dengan cara tak lazim.

Ketika itu, sembilan bersaudara ini dikejutkan dengan semburat atau cahaya yang muncul dari dalam Surau, dimana kedua orang tua mereka saat itu berada didalamnya. Takut terjadi sesuatu, kesembilan bersaudara ini kemudian masuk ke dalam Surau yang hanya berjarak lima jengkal dari rumah mereka. Alangkah kagetnya sembilan bersaudara ini. Kedua orang tuanya tidak terlihat di dalam Surau. Yang ada hanyalah dua berkas cahaya yang tiba-tiba mengeluarkan suara. “Kami sudah mendidikmu sejak kecil. Mudah-mudahan kalian menjadi manusia yang taat beribadah dan berguna bagi orang lain,” kata suara yang bersumber dari cahaya tersebut. “Agar bermanfaat bagi orang lain, kalian tidak boleh tinggal disini bersama-sama. Kalian harus berpisah,” pinta suara itu.

Seketika, kedua cahaya itupun menghilang. Sembilan bersaudara ini yakin, kedua cahaya tadi adalah orang tua mereka. Sembilan bersaudara inipun dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, mereka harus taat dan berbakti kepada kedua orang tua. Perintah untuk berpisah pun terpaksa dilakukan.

Mereka membagi diri ke sembilan arah tanpa tujuan pasti. Air mata bercucuran mengiringi perpisahan mereka. Pengembaraan untuk membaktikan diri kepada masyarakat wajib dilakukan, sesuai petunjuk kedua orang tua yang sudah mendidiknya sejak kecil. “Di permukaan bumi ini, atau di akhirat nanti saya tetap menaruh harapan bisa bertemu dengan kalian. Selamat jalan saudara-saudaraku”, kata si sulung sesaat sebelum beranjak pergi.

Dalam pengembaraannya yang memakan waktu bertahun-tahun, sembilan bersaudara ini berhasil membuka lahan baru di daerah yang dilewatinya, serta mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Anak pertama sukses membuka lahan pertanian dan perkebunan di daerah yang kemudian diberi nama Alewanua. Dia juga mengajarkan ilmu bercocok tanam kepada warga.

Anak kedua pun berhasil melakukan hal yang sama, dengan menjadikan lahan tidur di daerah selatan menjadi kebun nangka yang sangat subur. Anak kedua ini kemudian memberikan nama lahan tersebut dengan nama Ale'nangka. Anak ketiga lebih hebat lagi. Dengan ilmu yang dimiliki, dia mampu merubah sebuah batu kerikil menjadi Biji Nangka, dan menebarkan biji tersebut ke lahan kering yang dilewati saat dia mengembara. Jadilah daerah ini menjadi daerah yang subur dan kaya dengan buah nangka.

Selama mengembara, anak keempat dan kelima juga memanfaatkannya dengan membantu masyarakat yang kesulitan. Anak keempat berhasil menjadi ulama besar di sebuah daerah yang berada di wilayah Barat, dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat setempat. Sementara anak Kelima juga melakukan hal yang sama dalam pengembaraannya di wilayah Utara. Anak kelima ini mampu “menyulap” lahan yang dipenuhi balang atau lumpur pohon Nipa, menjadi sebuah perkampungan dan mendirikan masjid diatasnya. Daerah baru ini dia beri nama Balangnipa.

Di wilayah tengah dan timur, juga tersiar kabar daerah tersebut menjadi subur dan makmur. Anak keenam yang membuka lahan perkebunan di wilayah tengah berhasil diikuti warga setempat. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Sementara anak ketujuh yang mengembara ke wilayah timur berhasil menularkan ilmunya yang tangkas dalam membuat perahu. Alhasil, daerah tersebut dikenal sebagai kawasan pembuat perahu nelayan. Warga setempat juga memanfaatkan perahu untuk mencari ikan, guna memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Meski seorang perempuan, namun anak kedelapan juga memiliki ilmu yang tidak kalah hebat dengan saudara-saudaranya. Bahkan dalam pengembaraannya di sebuah bukit bernama Karampulue, anak kedelapan ini berhasil membuka lahan pertanian yang jumlahnya sangat banyak. Dia pun membagikan lahan pertanian ini kepada masyarakat untuk dikelola. Saat masyarakat masih butuh bimbingannya, anak kedelapan ini tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan berkas cahaya.

Kemudian anak kesembilan atau si bungsu, justru mengembara ke tempat yang lebih jauh dan harus melawan derasnya ombak. Meski hanya menggunakan sebatang tongkat kayu, anak kesembilan ini bisa sampai di sebuah pulau yang tinggi. Namun pulau ini ternyata tidak berpenghuni. Untuk mengusir rasa sepinya, dia pergi ke pinggir pantai dan memukulkan tongkatnya ke batu karang sebanyak sembilan kali. Pukulan tongkat ini dilakukan dengan harapan dia memiliki jodoh bertemu lagi dengan saudara-saudaranya yang lain.

Usai memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali, dia pun tiba-tiba menghilang. Konon, pukulan tongkat inilah yang membentuk sumur-sumur kecil yang airnya tawar, dan dikenal warga pulau Burungloe di Sinjai, Sulawesi Selatan sebagai sumur jodoh.

[caption id="attachment_398804" align="aligncenter" width="700" caption="Tampak dikejauhan Pulau Burungloe, Sinjai"][/caption]

@zainalabidinku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun