Di sebuah puncak bukit, hiduplah Sembilan bersaudara. Delapan diantaranya adalah laki-laki dan seorang perempuan. Sejak kecil mereka sudah ditempa dan dibekali pendidikan agama oleh kedua orangtuanya. Namun, kesedihan mendalam dirasakan sembilan bersaudara ini saat beranjak dewasa. Mereka harus berpisah dengan kedua orang tuanya dengan cara tak lazim.
Ketika itu, sembilan bersaudara ini dikejutkan dengan suara berdesing dan rumahnya tiba-tiba dipenuhi cahaya terang benderang. Kedua orang tuanya tidak terlihat. Yang ada hanyalah dua berkas cahaya yang tiba-tiba mengeluarkan suara. “Kami sudah mendidikmu sejak kecil. Mudah-mudahan kalian menjadi manusia yang taat beribadah dan berguna bagi orang lain,” kata suara yang bersumber dari cahaya tersebut. “Namun, agar berguna bagi orang lain, kalian tidak boleh tinggal disini bersama-sama. Kalian harus berpisah,”.
Seketika, kedua cahaya itupun menghilang. Sembilan bersaudara ini yakin, kedua cahaya tadi adalah orang tua mereka. Sembilan bersaudara inipun dihadapkan pada pilihan yang sulit. Namun, mereka harus taat dan berbakti kepada kedua orang tua Perintah untuk berpisah pun terpaksa dilakukan.
Mereka membagi diri ke Sembilan penjuru mata angin. Cucuran air mata mengiringi perpisahan mereka. Pengembaraan untuk membaktikan diri kepada masyarakat wajib mereka lakukan, sesuai petunjuk kedua orang tua yang sudah mendidiknya sejak kecil.
Dalam pengembaraannya yang memakan waktu bertahun-tahun ini, mereka berhasil membuka lahan di daerah yang dilewatinya serta mengajarkan ilmunya kepada masyarakat. Anak pertama sukses membuka lahan pertanian di daerah yang kemudian diberi nama Batangase. Dia juga mengajarkan ilmu bercocok tanam kepada warga.
Anak kedua pun berhasil melakukan hal yang sama, dengan menjadikan lahan tidur di daerah selatan menjadi kebun nangka yang sangat subur. Anak kedua ini kemudian memberikan nama lahan tersebut dengan nama Ale'nangka. Anak ketiga lebih hebat lagi. Dia mampu merubah sebuah batu kerikil menjadi Biji Nangka, dan menebarkan biji tersebut ke lahan kering yang dilewati saat dia mengembara. Jadilah daerah ini menjadi daerah yang subur dan kaya dengan buah nangka.
Selama mengembara, anak keempat dan kelima juga memanfaatkannya dengan membantu masyarakat yang kesulitan. Anak keempat berhasil menjadi ulama besar di sebuah daerah yang berada di wilayah Barat, dan mengajarkan ilmu agama kepada masyarakat setempat. Sementara anak Kelima juga melakukan hal yang sama dalam pengembaraannya di wilayah Utara. Anak kelima ini mampu menyulap lahan yang dipenuhi balang atau lumpur pohon nipa, menjadi sebuah perkampungan dan mendirikan masjid diatasnya.
Di wilayah Tengah dan Timur, juga tersiar kabar daerah tersebut menjadi subur dan makmur. Anak keenam yang membuka lahan perkebunan di wilayah Tengah, berhasil diikuti warga setempat. Bahkan mereka menggantungkan hidupnya dari hasil perkebunan. Sementara anak Ketujuh yang mengembara ke wilayah Timur, berhasil membuat perahu untuk warga. Perahu inilah yang dipakai masyarakat setempat mencari ikan di sungai, guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Meski seorang perempuan, namun anak Kedelapan ternyata memiliki ilmu yang tidak kalah hebat dengan saudara-saudaranya. Bahkan dalam pengembaraannya disebuah bukit bernama Karampulue, anak kedelapan ini berhasil membuka lahan pertanian yang jumlahnya sangat banyak. Dia pun membagikan lahan pertanian ini kepada masyarakat untuk dikelola. Saat masyarakat masih butuh bimbingannya, anak kedelapan ini tiba-tiba menghilang dan hanya meninggalkan berkas cahaya. Kejadiannya sama ketika kedua orangtuanya juga menghilang.
[caption id="attachment_392582" align="alignright" width="300" caption="Teluk Bone di foto dari puncak pulau Kambuno, Kec. Pulau Sembilan, Kab. Sinjai"][/caption]
Kemudian anak Kesembilan atau si bungsu, justru mengembara ke tempat yang lebih jauh dan harus melawan derasnya ombak. Meski hanya menggunakan sebatang tongkat kayu, anak kesembilan ini bisa sampai disebuah pulau bernama Burungloe.
Namun pulau ini ternyata tidak berpenghuni. Untuk mengusir rasa sepinya, anak Kesembilan ini pergi ke pinggir pantai dan memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali. Pukulan tongkat sebanyak sembilan kali ini dilakukan, dengan harapan dia memiliki jodoh bertemu lagi dengan saudara-saudaranya yang lain.
Setelah memukulkan tongkatnya sebanyak sembilan kali, anak kesembilan inipun menghilang. Konon, pukulan tongkat inilah yang membentuk sumur-sumur kecil yang airnya tawar, dan dikenal warga pulau Burungloe di Sinjai sebagai sumur jodoh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H