[caption id="attachment_183039" align="alignleft" width="320" caption="(foto : ilustrasi/healthzine.org)"][/caption] Manado, ibukota Provinsi Sulawesi Utara tahun 2012 ini menjadi tuan rumah Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) yang berlangsung 31 Mei sampai dengan 4 Juni yang lalu. Sekitar 80-an perwakilan Pemerintah Kota se Indonesia menjadi peserta event tersebut. Termasuk perwakilan Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Timur yang dipimpin Walikotanya, HM Murdhani. Kesempatan itupun digunakan Pemerintah Kotamadya Manado dengan Walikotanya DR GS Vicky Lumentut untuk mempromosikan obyek-obyek wisata di Sulawesi Utara, khususnya Manado dan sekitarnya. Bak gayung bersambut, banyak para peserta pertemuan itu memanfaatkan waktu tersisa untuk berkunjung ke destinasi wisata yang menarik perhatian mereka masing-masing. “Pariwisata Manado terkenal lewat rumusan 3 B. Yaitu Bunaken, Bibir dan Bubur. Bibir di sini maknanya gadis-gadis Manado yang dikenal cantik-cantik,” ujar Drs Husnison Nizar , Kepala Suku Dinas Kebudayaan yang saat ini merangkap sebagai Kepala Suku Dinas Pariwisata Jakarta Timur. Perlu diketahui data BPS setempat menyebutkan penduduk Manado tahun 2010 hanya 410.481 jiwa dengan pertumbuhan 0,96% per tahun. Sedangkan kepadatan 2610 orang /km2. Dari jumlah penduduk sebesar itu jumlah wanitanya mencapai 65% lebih. Sekalipun secara topografis Manado tidak begitu tinggi maksimum 240 meter di atas permukaan laut, namun hawanya tidak terlalu panas dengan temperature antara 19 dan 34 derajat Celsius, atau temperatur rata- rata sekitar 27 derajat Celsius. Di pulau Bunaken rombongan Husnison menikmati keindahan taman bawah laut dengan menggunakan perahu berlunas kaca, sehingga terlihat ikan ikan hias dan batu karang dengan jelas berwarna warni. “Hemm, memang indah sekali,” kata Ny Sri Catur Setyowati seorang kepala seksi di Sudin Kebudayaan Jakarta Timur. Selain menikmati keindahan Taman Laut Bunaken agak jauh dari pantai Manado, rombongan Sudin Kebudayaan Jaktim yang dipimpin Husnison Nizar menyempatkan berkunjung ke perbatasan Minahasa , yang berhawa pegunungan, tempat Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol wafat dan dimakamkan tahun 1854. Makam tersebut bersih dan rapi karena dirawat dengan sungguh sungguh oleh penjaganya secara turun temurun. Yang khas dari makam tersebut, meskipun di tanah Minahasa, bentuk arsitektur bangunannya bergaya Minangkabau yaitu rumah gonjong. “Gonjongnya ada tujuh, termasuk satu gonjong di depan,” ujar Husnison yang berasal dari Sumatera Barat itu. Tak jauh dari makam tersebut agak ke bawah dekat sungai, terdapat batu kali berukuran 70 cm x 100 cm dengan permukaan datar. Batu tersebut tempat Tuanku Imam Bonjol sholat lima waktu, demikian kata penjaga makam itu. “Batunya lumayan besar dan datar tetapi hanya cukup untuk sholat sendiri , tak cukup untuk berjamaah dua orang,” komentar Ny Catur Setyowati. Dari catatan sejarah, Husnison Nizar sebagai arkeolog alumnus UI ini menjelaskan, Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado oleh pemerintah Belanda hanya sendirian. Berbeda dengan Pangeran Diponegoro yang diasingkan ke Makasar bersama dengan isteri , anak-anak dan para pengikutnya. Tetapi kedua Pahlawan Nasional itu meninggalnya hampir bersamaan , hanya selisih satu tahun. Sementara rombongan Sudin Kominfomas Jaktim yang diketuai Yunus Azizy tidak sempat ke Makam Imam Bonjol karena sopirnya tidak memberikan informasi apa apa. Padahal jalannya dari Manado ke tempat wisata yang dituju juga melewati akses ke makam pahlawan nasional terebut. “Kita nggak diberitahu sih. Padahal hanya 3 km dari jalan raya,” ucap Gatut Sudarsono, Kasi Pemberitaan dan Kehumasan Sudin Kominfomas Jaktim menyesal. (aliem) http://www.aliemhalvaima.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H