[caption id="attachment_321386" align="alignnone" width="604" caption="Bersama si putri bungsu (dok pribadi)"][/caption]
Anak gadis saya yang bungsu, cerita soal pengalamannya di awal2 kuliah di Makassar sebulan terakhir ini. Sebagai hasil "produksi" anak rantau yang lahir di Jakarta, dia terkadang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang2 sekitarnya, terutama jika menggunakan bahasa daerah lokal, Bugis atau Makassar.
Sebagai hasil "produksi" anak rantau yang lahir di Jakarta, dia terkadang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang2 sekitarnya, terutama jika menggunakan bahasa daerah lokal, Bugis atau Makassar.
Contoh kecil, ketika berangkat kuliah di pagi hari. Dia memilih angkutan "Bentor" (Becak Motor) yang praktis, lebih cepat, dan sedikit eksklusif-lah menurut dia.
Awal2 "berbentor-ria", dia dikenakan tarif sebagai orang pendatang, kaum urban, lebih mahal, karena dianggap anak Jakarta, atau mungkin dikira orang yang buta soal kota Makassar.
"Jarak dekat aja, sampai bayar Rp20.000-30.000, deh pak," katanya.
Pagi ini dia menelpon dari Makassar. Lapor kalau naik Bentor lagi, tapi bayarnya sudah beda. Tidak lagi Rp20.000-30.000, tapi dengan tarif biasa, Rp10.000,- layaknya orang asli kota Makassar.
"Kenapa bisa murah begitu, Dek?," tanya saya.
Dia ketawa, seolah merasa menang lomba.
"Adek coba2 nekat pake logat Makassar aja pak, kayak ngomongnya temen2 kampus. Adek bilang, 'jangki mahal kodong, sepuluh ribumo na Daeng?".