Bukan hanya itu saja. Sesekali juga ikut bersama ayahnya untuk berkeliling ke areal perkebunan dan lokasi pembibitan dengan memakai kendaraan traktor milik perkebunan, yang biasanya dipakai untuk mengangkut hasil panen.
"Sepanjang jalan terlihat ayah mengawasi dan melihat-lihat pekerja kebun yang sedang bekerja. Dan memang itulah tugas ayah setiap harinya," cerita istri saya.
"Ayah kami sangat senang dan kelihatan sangat bijak, ramah dan sangat familiar terhadap pekerjanya. Kami pun ikut senang melihatnya. Di sepanjang jalan, terkadang ayah kami disapa dengan senyum oleh para petani. Terkadang ayah berteriak dari jauh dengan memakai bahasa Makassar yang artinya bagaimana keadaan tanamanmu," katanya.
Biasanya, begitu turun dari traktor, dan mereka berlima tetap di atas traktor. Para petani saling berdatangan dan berkumpul dan silih berganti yang entah apa yang ditanyakan, waktu itu belum mengerti apa-apa tentang tanaman.
*****
Jika panen jeruk atau coklat tiba, juga ikut memetik lalu memasukkan ke dalam karung untuk selanjutnya di bawa ke kantor koperasi yang ada di kebun pembibitan tersebut .
Tak hanya itu, juga ikut melihat para petani mencabut singkong dan ubi jalar. Begitu pun dengan berbagai jenis sayuran dan lain-lain sebagainya. Alangkah senangnya pada saat itu.
Tidak lama kemudian, ayah istri saya meninggal dunia karena penyakit yang mematikan yaitu kanker otak. Istri bersaudara pun sangat sedih karena tidak pernah menyangka kalau ayah mereka secepat itu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Ternyata selama ini ayahnya istri saya mengidap penyakit kanker otak, dan beliau tidak pernah bercerita tentang riwayat penyakitnya itu. Mungkin karena ketika itu anak-anaknya dianggap masih kecil, dan terlalu dini untuk mengetahui hal-hal seperti itu.
Kebahagiaan yang selama ini mereka nikmati bersama, tiba-tiba hilang dan tidak akan ada lagi. Semenjak ayahnya sudah meninggal, kehidupan istri.wwya dan keluarganya sangat berubah secara drastis.
Ibunya yang biasanya hanya menjaga adik bungsu, dan memasak di dapur, tiba-tiba saja setiap hari keluar rumah mencari nafkah untuk keenam anaknya. Yaitu menjual kain sutra Bugis dan juga menjual beras di pasar. Tapi itu setiap hari dikerjakan dengan sabar dan senang. Kami berlima terkadang merasa sangat kasihan melihatnya.