Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ini Lokasi Ngabuburit Tempo Doeloe

16 Maret 2024   23:44 Diperbarui: 17 Maret 2024   00:16 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdua istri di rumah adat Bugis-Makassar, anjungan Sulawesi Selatan, TMII Jakarta, era 1987-an (foto dok Nur Terbit) 

Ini Lokasi Ngabuburit Favorit Bang Nur Tempo Doeloe. Saat ditanya di mana lokasi ngabuburit favorit? Awalnya sempat bingung, sebab kata tersebut masih asing di telinga, ngabuburit itu apa sih? 

Harap maklum. Sebagai kaum urban dari luar Pulau Jawa kemudian bermukim di perkotaan seperti Kota Metropolitan Jakarta, tentu perlu penjelasan lebih jauh mengenai apa itu ngabuburit? 

Itu Bang Nur rasakan dan alami, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta era 1980-an, sebagai kaum "muhajirin" dari "Kota Daeng" Makassar, Sulawesi Selatan. 

Dari pergaulan sehari-hari di Jakarta dan juga mencari literatur kemana-mana, pelan-pelan akhirnya dapat juga penjelasan dari apa yang dimaksud ngabuburit itu. Ini pun ada kontroversi, apakah dari bahasa Jawa apa Sunda? 

Literatur pertama yang Bang Nur temukan, kata "ngabuburit" disebutkan berasal dari bahasa Jawa, yaitu "ngabubur" yang artinya adalah "menunggu berbuka". Berbuka yang dimaksud, tentu berbuka puasa di bulan Ramadan. 

Namun berbeda lagi menurut pakar bahasa Sunda Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, Dr. Gugun Gunardi, M.Hum dikutip dari unpas.ac.id website resmi Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat. 

Menurutnya kata "ngabuburit" dalam bahasa Sunda berarti "ngalantung ngadagoan burit" atau bermain sambil menunggu waktu sore. Waktu ini, katanya, biasanya antara usai salat asar hingga sebelum matahari terbenam.

Tapi tidak apa-apa. Mereka tentu punya alasan dan dasar hingga mengklaim asal muasal dari kata ngabuburit itu. Namun secara umum, bahwa "ngabuburit" atau "mengabuburit" itu  adalah kegiatan menunggu azan magrib menjelang berbuka puasa pada waktu bulan Ramadan. 

Kegiatan ngabuburit ini dapat berupa banyak hal, seperti jalan-jalan, bermain, bercengkerama, mencari takjil gratis, mendatangi pasar kuliner atau menghabiskan waktu di taman.

Ngabuburit bersama anak dan istri dengan Konro khas Makassar di Jakarta (foto dok Nur Terbit) 
Ngabuburit bersama anak dan istri dengan Konro khas Makassar di Jakarta (foto dok Nur Terbit) 

*****

Seperti yang Bang Nur ungkapkan di atas, ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta era 1980-an, saya "menumpang" di satu rumah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, milik keluarga yang sekampung di Sulawesi Selatan. 

Tempat ngabuburit kami di era 1980-an itu, kebetulan masih ada yang namanya Pantai Sampur. Salah satu destinasi murah meriah yang favorit untuk ngabuburit, sebelum ditutup dan dijadikan Terminal Peti Kemas (kontainer) sekarang ini. 

Di sini juga ada Pasar Ular, tempat produk impor yang dijual dengan harga miring. Entah dari mana awalnya hingga pasar ini dilekatkan nama "ular". Yang pasti, setiap kali Ramadan, maka di sinilah lokasi favorit tempat muda-mudi, juga anggota keluarga, ngabuburit menunggu beduk Magrib. 

Selain Pasar Ular di Sampur Jakarta Utara, ada juga yang memilih ngabuburit di Marunda, bagian utara di wilayah Kecamatan Cilincing, tempat rumah bersejarah dari tokoh Betawi, Si Pitung. Atau balik ke Gelanggang Remaja, di samping kantor Wali Kota, tempat para seniman muda bermarkas dan bergiat seni. 

Ada juga lokasi ngabuburit yang lebih bergengsi. Yakni di tempat wisata Ancol. Di sini sepanjang tepi pantai menghadap ke Teluk Jakarta  ramai pengunjung ngabuburit. Atau ngumpul di arena terbuka di Pasar Seni, sambil menunggu buka puasa dan sering juga ada konser musik. Genre musik Jazz, salah satu yang banyak diminati. 

Tidak jauh dari daerah Ancol, ada juga yang namanya Pelabuhan Sunda Kelapa di Kecamatan Penjaringan. Di sini panoramanya cukup menarik untuk dijadikan obyek ngabuburit selain berwisata. Ada deretan Perahu Pinisi khas Bugis-Makassar sandar di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta Utara. Juga ada tempat makan. 

Jika ada waktu, Bang Nur "nyelonong" ke rumah paman di Bandung mengisi liburan Ramadan. Beliau tinggal di daerah Cijerah, Cimahi dan waktu itu masih akrif sebagai anggota Provost TNI AU. 

Adapun lokasi pilihan favorit untuk ngabuburit, adalah Alun-alun di depan Masjid Agung sambil menunggu buka puasa. Dari pamanlah yang ngajak ke Alun-alun. Jika malam hari, bisa nonton film gratis di bioskop yang ada di sekitar Alun-alun. Biasa, jatah preman hehe... 

*****

Bicara soal tradisi ngabuburit di Indonesia, juga terus berkembang seiring perkembangan zaman. Maka ngabuburit pun menjadi tren dan tradisi tersendiri oleh masyarakat Indonesia sampai sekarang. 

Ternyata, ngabuburit juga bermanfaat untuk menambah jejaring dengan melakukan silaturahmi kepada teman dan kerabat untuk menambah relasi maupun memunculkan peluang-peluang bisnis. Jadi, intinya ngabuburit bisa jadi ajang untuk tetap produktif. 

Nah, ada pertanyaan nakal nih dari netizen. Apa hukumnya ngabuburit bareng pacar? ciieh.... Menurut KH. Syamsul Ma'arif, sebenarnya hal itu (ngabuburit bersama pacar) adalah suatu hal yang bisa saja tidak membatalkan puasa.

"Akan tetapi bisa menggugurkan pahala puasa dan mengurangi nilai ibadah puasa yang dilakukan oleh pasangan tersebut, " kata Pak Kiai. 

Apakah ngabuburit dapat pahala?. Nah ini masih kata dari Pak Kiai. Mengisi waktu ngabuburit dengan berbagi takjil kepada orang yang sedang berpuasa bernilai pahala tinggi. 

Hal ini katanya, terdapat dalam hadis Rasulullah SAW: "Siapa yang membatalkan puasa orang lain, maka ia mendapatkan pahala puasa tanpa mengurangi pahala puasa orang yang bersangkutan".

Nah, demikianlah bagian daei tantangan menulis di aktivitas ngeblog maraton di Kompasiana untuk hari ke-6, pada Sabtu 16 Maret 2024. Terima kasih. 

Salam : Nur Terbit

Berdua istri di rumah adat Bugis-Makassar, anjungan Sulawesi Selatan, TMII Jakarta, era 1987-an (foto dok Nur Terbit) 
Berdua istri di rumah adat Bugis-Makassar, anjungan Sulawesi Selatan, TMII Jakarta, era 1987-an (foto dok Nur Terbit) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun