Untungnya di era digital sekarang ini, banyak media menyiapkan porsi atau rubrik untuk ditulis oleh penulis dari luar. Maksudnya free lance, tentu dengan pembayaran fee (honor) tulisan sesuai dengan kemampuan masing-masing media.
Menulis apa saja dan di mana saja dengan tulisan yang (semoga) bermanfaat dan menginspirasi. Selain di media, apa yang sudah termuat bisa dijadikan buku. Tentu setelah semua tulisan tersebut dikumpulkan jadi buku.
Alhamdulillah sampai sekarang, sedikitnya ada lebih dari 10 buku berhasil diterbitkan dari kumpulan tulisan Nur Terbit yang pernah dimuat berbagai media, di antaranya Kompasiana.
Dari 10 judul buku tersebut, sebagian besar antologi alias keroyokan sejumlah penulis. Hanya 4 (empat) yang benar-benar full tulisan sendiri, yakni "Lika-Liku Kisah Wartawan" (PWI Pusat, 2020), "Wartawan Bangkotan" (YPTD, 2020), "Mati Ketawa Ala Netizen" (YPTD, 2020), "Menulis Sampai Tua" (YPTD, 2022).
Beberapa buku berisi kumpulan tulisan lainnya, siap diterbitkan dan sekarang sudah berupa dammi dan draft di komputer. Antara lain "WTS = Wartawan Tanpa Suratkabar", "360 Jam Menulis Tanpa Henti", "Kenangan Bersama Harmoko", "Catatan Dari Udik", "Mudik Dengan Kapal Laut".
Dari menerbitkan buku ini pun lumayan dapat duitnya. Meski untuk sementara ini hanya terbatas untuk menutupi ongkos cetak dan ongkos kirim karena pakai sistem "pre-order". Artinya pesan dulu, kemudian transfer uang, order cetak ke penerbit, setelah buku setelah dicetak lalu kirim balik ke pemesan.Â
Begitulah perjalanan sederhananya sebagai penulis free lance yang bukunya belum pernah "best seller" hehehe...Tapi jika hanya mengandalkan honor dari tulisan, atau dari hasil penjualan buku secara "pre-order", tentu bakal tidak seimbang dengan pengeluaran bulanan untuk membeli paket data internet.Â
Seperti yang saya sebutkan di atas, beli paket data 2,5 - 3 GB seharga antara Rp15 - 30 ribu untuk 1-3 hari, dalam sebulan bisa rata-rata Rp300 ribu sebulan. Sementara kalau pasang Wi-Fi di rumah, harga sama Rp300-an ribu sebulan. Â
Ojo dibandingke? Jangan dibandingkan? Itu kata judul lagu yang dipopulerkan si Farel Prayogi. Tapi bagi saya, ya haruslah. Kita harus realistis menghadapi hidup di dunia yang penuh cobaan, tantangan dan perjuangan ini.
Bagaimana bisa kita mengetahui fakta dan kenyataan yang ada di depan kita, jika tidak ada obyek perbandingannya kan? Minimal harus ada indikatornya. Iya gak?