Suara telepon genggam di kamar memanggil, Jumat malam pukul 20.36 WITA pada 18 November 2022 itu. Telepon dari kakak perempuan sulung saya dari kampung. Ada apa gerangan?
Ternyata, keluarga mengabarkan kalau Kota Makassar dan sekitarnya, juga beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, kini sedang dilanda banjir besar.
Ingatan saya kembali disegarkan ke tahun 1970-an, ketika saya masih sekolah SLTA di Kabupaten Maros, sekitar 20 km dari rumah orang tua atau sekitar 30 km arah Utara Kota Makassar
Sekali waktu sekolah kami diliburkan. Itu karena banjir menggenangi halaman sekolah dan air ikut masuk "belajar" ke ruang kelas. Ketika air mulai surut, masih tetap harus naik rakit ke sekolah.
Bukan hanya itu. Untuk sampai ke sekolah, dalam perjalanan dari rumah harus melintasi jalan raya yang di kiri kanannya membentang perawahan.Â
Saat musim hujan itulah, air persawahan terkadang meluap dan "menyeberang" ke areal persawahan di sebelahnya, melintasi jalan raya. Kendaraan terutama roda dua, tak berani menerobos banjir karena takut mesinnya mati.
Kini kejadian banjir pada puluhan tahun tersebut, kembali terulang. Genangan air pun semakin meluas. Bukan hanya singgah di Kabupaten Maros, tapi juga beberapa kota dan kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kembali ke lokasi banjir di tempat kelahiran kami di Sudiang, selain menyampaikan kabar "bencana" tersebut, keluarga kami juga silih berganti mengirim foto, video, mengenai situasi terkini yang terjadi dari lokasi banjir di sana.
"Rumahku kodong, sudah masuk juga air, lewat pintu depan sampai saya kewalahan mendorong keluar. Tapi airnya tetap juga masuk, nakalaka, masukmi lagi di kamar, terlambatka sumbatki kain di pintu kamar," kakak perempuan sulung saya mengabarkan.
"Di depan TV di ruang tengah, air masuk sampai setinggi mata kaki orang dewasa. Sekarang dodongma, belum sempatka lagi makan malam," suara kakak, yang kini tinggal sendirian di rumah.Â