Wartawan dan Pengacara, Apakah Profesi Penuh Tantangan? Apa Pula Daya Tarik Dari Kedua Profesi Unik ini?
Dari semula bareng meliput berita sidang, hingga sekarang malah sama-sama bersidang. Dulu masih wartawan, sekarang sudah pengacara, atau merangkap dua-duanya.Â
Bagi saya, keduanya adalah profesi yang penuh tantangan, dan sama-sama menantang.
*****
Saya mencoba membatasi tulisan ini, maaf, sebagai pengalaman pribadi dari lapangan. Mungkin bisa saja ada perbedaan dengan profesi lain. Jadi sifatnya saya hanya semata mau "bercerita", bukan "berteori" di tulisan ini.
Ceritanya saya mulai dari sini. Setelah berpisah hampir 12 tahun (sebagai wartawan dan  bekerja satu tim di media yang sama, terakhir di era 2014), eh ketemu lagi di pengadilan dengan sahabat lama Bang Syafril Elain.
Tempat dan situasinya memang yang sudah berbeda, juga profesi. Tapi anehnya, koq profesi Alhmadulillah, masih sama lagi : advokat, lawyer, pengacara. Masya Allah...
"Wuihhhh, dua lowyer berbaju jurnalis. Atau dua jurnalis berbaju lowyer. Ngeriiiii..," kata Abu Bagus alias Drs H. Amin Idris.
Abu Bagus kini Sekretaris Yayasan Nurul Islam Islamic Center Kota Bekasi, yang juga menerbitkan media online dan cetak Tibyan dimana Amin sebagai Pemrednya.
"Ada benarnya istilah 'dunia ini tidak selebar daun kelor'. Di situ -situ juga muter-muter," kata kawan saya yang lain, Effendi Siahaan, wartawan senior dari koran Sinar Pagi. Kini korannya mengikut tren, sudah media online.
Memang pada akhirnya tak pernah ada yang bisa menebak, akan ke mana Tuhan mengarahkan langkah kaki kita untuk diayun. Kami berdua, saya dan kawan saya Bang Syafril Elain, juga teman-teman wartawan lain yang beralih profesi jadi pengacara, contohnya.Â
Pisah dari media yang sama, eh giliran ketemu sudah punya kantor masing-masing. Bukan kantor media lagi, tapi kantor lawyer, kantornya para pengacara.
Padahal ketika waktu itu di lapangan era 1980-an, kami berdua sering ketemu sama-sama meliput. Terutama liputan berita hukum. Salah satunya sidang kasus Tragedi Tanjung Priok, September 1984.
Kala itu, Saya (Nur Aliem Halvaima) dari Harian Terbit (Pos Kota Grup) punya Pak Harmoko, mantan Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Menteri Penerangan, Menteri Urusan Khusus, dan Ketua DPR MPR era Soeharto.
Saya juga belajar jadi wartawan sejak masih kuliah di Makassar, jadi wartawan koran daerah dan merangkap jadi koresponden surat kabar nasional terbitan Jakarta. Ya koran Pak Harmoko itu.Â
Sebelumnya, saya mengabdi di mingguan Bharata milik mantan aktor film dan anggota DPR RI Zainal Bintang, terus ke SKH Mimbar Karya milik Moh Anis, mantan pengurus Serikat Penerbit Seluruh Indonesia (SPSI) Cabang Sulsel.
Sedang Syafril, juga tak kalah "begawan" medianya seperti saya. Dari satu koran ke koran yang lain. Ketika sama-sama meliput kasus Tragedi Tanjung Priok, Syafril masih di Harian Prioritas lalu lanjut ke Media Indonesia, keduanya punya Surya Paloh.
Selain itu, pada 1984-1986 Syafril sudah berkarya di Kantor berita Nasional Indonesia (KNI). Pada 1986-1987 di koran berwarna Prioritas, pada 1988-1989 di Harian Jayakarta, dan pada 1989-1992 di Harian Media Indonesia.
Eh, ujung-ujungnya ketemu lagi di kantor redaksi surat kabar edisi sore di Kawasan Industri Pulogadung (KIP), Jakarta Timur. Satu tim di koran sore Harian Terbit.Â
Lalu dari koran yang dulu bernama Pos Sore ini, kami sama-sama pensiun dini Februari 2014. Selanjutnya, kembali berpencar-pencar. Mencari jalan hidup masing-masing.
Dari Profesi Wartawan ke Pengacara, Atau Merangkap Dua-duanya?
Hari itu, Rabu 23 Februari 2022, kami bertemu lagi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara Jalan Gajah Mada, dengan profesi yang sama pula: advokat, lawyer, pengacara. Sama-sama menunggu giliran bersidang.
Ternyata, tak hanya kami pensiunan wartawan yang alih profesi. Banyak juga senior kami yang sudah lebih dulu beracara di pengadilan.
Kalau tidak salah, dimulai oleh senior kami Albert Hasibuan, lengkapnya Dr. Albert Hasibuan, S.H. adalah seorang advokat senior, praktisi hukum dan dosen dari Indonesia.Â
Pak Albert pernah dipilih oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Hukum dan Ketatanegaraan untuk periode 10 Januari 2012 - 19 Januari 2015, menggantikan Jimly Asshiddiqie yang mengundurkan diri.
Selain itu, ia juga pernah menjadi Pemimpin Umum Harian Umum Suara Pembaruan dan anggota Komnas HAM periode (1993--2002).Â
Saat menjadi anggota Komnas HAM, Pak Albert pernah menjadi Ketua Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timtim (1999), KPP HAM Abepura (2000), Ketua KPP HAM Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (2001).
Sedang pada tahun 1971, bersama Adnan Buyung Nasution, ia mendirikan lembaga hukum, Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Beberapa buku beliau sudah tulis, di antaranya tentang penegakan hukum.
Jejak Pak Albert, juga diikuti Bachtiar Sitanggang, pengacara yang juga pernah satu tim dengan Pak Albert di koran sore Sinar Harapan dan Suara Pembaruan.Â
Bachtiar Sitanggang, mantan wartawan sekaligus pengacara senior ini juga pernah meluncurkan buku yang terdiri atas kumpulan tulisannya di berbagai media massa: "Negara & Hukum di Mata Wartawan - Advokat".
Bachtiar juga pernah menjadi kuasa hukum Susilo Bambang Yudhoyono dan Mahfud MD, mengaku masih belum apa-apa dibanding rekan sejawatnya.
Di belakang Bachtiar Sitanggang, menyusul yuniornya Upa Labuhari dan Edi Hardum dari koran yang sama: Sinar Harapan dan Suara Pembaruan. Wartawan "merangkap" pengacara. Kata merangkap, karena masih sering menulis seperti saya.
Juga, ada Wina Armada Sukardi (Kartini Grup), Kamsul Hasan Percoyok Yoyok, Bambang, Dwiyantoro (Pos Kota). Belakangan Bambang dan Dwi banting stir, dari wartawan ke pengacara dan sekarang lebih fokus jadi notaris.
Selain itu, ada bang Aldinar Sinaga (Berita Kota), Jonri Simanjuntak (Sinar Pagi), Agustin Lumbangaol (Koran Buana), dan satu-satunya wartawati jadi advokat adalah Andi Darti (majalah Ombudsman).
Masih dari background wartawan, ada Arman Suparman (Koran Satu) M Said Muchtar Muchtar, Udi Sarosa Advokat, alm Bastian Syamsu ketiganya dari Harian Terbit (selain saya dan Syafril), serta banyak lagi yang lain.
****
Yang pasti, kembali ke cerita awal di atas, pertemuan dua wartawan yang pengacara di pengadilan: saya dan Syafril, dari dulu hingga sekarang rasa-rasanya tak banyak yang berubah.Â
Kami berdua masih suka bercanda, tentu termasuk hari itu di pengadilan bercanda sambil bernostalgia. Bahkan ketika masuk waktu Dhuhur, dia jadi Imam dan saya Makmunnya di mesjid pengadilan.
Yang mungkin (sedikit) berubah (cuma) di antara kami berdua, ya soal rambut dan mata. Khusus mata, panca indera penglihatan kami berdua sama-sama sudah dibantu kacamata baca.Â
Tapi, untuk rambut, maaf rambut saya sudah putih, sedang Syafril masih hitam (entah dia semir atau tidak, lupa saya wawancarai dia, takut dianggap, "ini koq ada wartawan wawancarai pengacara". Jeruk makan jeruk?).
Tapi melalui kolom komentar di akun Facebook saya, Syafril berterus terang. "Soal rambut, memang aku baru mulai memutih dan tidak pernah rambut disemir, hahaha...," katanya.
Yang membuat kami berdua tiba-tiba sedih dan jadi terharu, saat saling menanyakan pada ke mana semua teman-teman kami (wartawan) yang dulu? "Si Anu" ternyata sudah lama wafat, "Si Ini" sudah pulang kampung, "Si Itu" bahkan memilih berkubur di tanah kelahiran mereka. Alfatiha untuk semuanya!Â
"Profesi wartawan bagus tapi sepertinya lebih bagus lawyer. Tapi kita bersyukur karena wartawanlah kita lebih banyak tahu soal dunia ini. Salah satu kelebihan lawyer tak ada usia pensiunnya, asal sehat saja," kata Sipri Edi, nama lain Edi Hardum di akun Facebook.
Itu sebabnya, sambil bercanda sahabat saya Amin Idris, mantan wartawan Harian Terbit, Tabloid Mega Pos, majalah Warnasari, kini Pemred Online Tibyan, sempat bertanya, "Wartawan yang jadi merbot masjid banyak gak bang?"Â
Saya jawab, "hahaha....itu salah satu pilihan 'buy one get two'. Beli satu dapat dua. Ibarat ngejar dunia sekaligus dapat akhirat. Profesi paling tinggi dan mulia dari segala profesi, karena marbot adalah penjaga mesjid sekaligus wakil penguasa alam di rumah Tuhan".
Kalau saya ditanya, "pilih mana profesi wartawan atau pengacara? Kenapa wartawan setelah pensiun, di antaranya banyak yang beralih jadi pengacara?"
Saya tak bisa menjelaskan. Jawabannya ada pada diri masing-masing pribadi. Yang pasti, bagi saya keduanya adalah profesi yang penuh tantangan, dan sama-sama menantang. Ya, seperti judul yang saya pilih di atas. Salam.
NUR TERBIT
Blog, YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, TikTok, LinkedIn
Tulisan saya yang lain, terkait profesi wartawan dan Pengacara:
1. Mengetik dengan mesin ketik, sekedar nostalgia Ramadhan
2. Lika-liku kisah wartawan kompeten
3. Mengenal dasar-dasar jurnalistik
4. Perbedaan media Doeloe dan sekarang
5. Sidang di Mahkamah Konstitusi, pengalaman tak terlupakan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H