Yang mungkin (sedikit) berubah (cuma) di antara kami berdua, ya soal rambut dan mata. Khusus mata, panca indera penglihatan kami berdua sama-sama sudah dibantu kacamata baca.Â
Tapi, untuk rambut, maaf rambut saya sudah putih, sedang Syafril masih hitam (entah dia semir atau tidak, lupa saya wawancarai dia, takut dianggap, "ini koq ada wartawan wawancarai pengacara". Jeruk makan jeruk?).
Tapi melalui kolom komentar di akun Facebook saya, Syafril berterus terang. "Soal rambut, memang aku baru mulai memutih dan tidak pernah rambut disemir, hahaha...," katanya.
Yang membuat kami berdua tiba-tiba sedih dan jadi terharu, saat saling menanyakan pada ke mana semua teman-teman kami (wartawan) yang dulu? "Si Anu" ternyata sudah lama wafat, "Si Ini" sudah pulang kampung, "Si Itu" bahkan memilih berkubur di tanah kelahiran mereka. Alfatiha untuk semuanya!Â
"Profesi wartawan bagus tapi sepertinya lebih bagus lawyer. Tapi kita bersyukur karena wartawanlah kita lebih banyak tahu soal dunia ini. Salah satu kelebihan lawyer tak ada usia pensiunnya, asal sehat saja," kata Sipri Edi, nama lain Edi Hardum di akun Facebook.
Itu sebabnya, sambil bercanda sahabat saya Amin Idris, mantan wartawan Harian Terbit, Tabloid Mega Pos, majalah Warnasari, kini Pemred Online Tibyan, sempat bertanya, "Wartawan yang jadi merbot masjid banyak gak bang?"Â
Saya jawab, "hahaha....itu salah satu pilihan 'buy one get two'. Beli satu dapat dua. Ibarat ngejar dunia sekaligus dapat akhirat. Profesi paling tinggi dan mulia dari segala profesi, karena marbot adalah penjaga mesjid sekaligus wakil penguasa alam di rumah Tuhan".
Kalau saya ditanya, "pilih mana profesi wartawan atau pengacara? Kenapa wartawan setelah pensiun, di antaranya banyak yang beralih jadi pengacara?"
Saya tak bisa menjelaskan. Jawabannya ada pada diri masing-masing pribadi. Yang pasti, bagi saya keduanya adalah profesi yang penuh tantangan, dan sama-sama menantang. Ya, seperti judul yang saya pilih di atas. Salam.
NUR TERBIT
Blog, YouTube, Twitter, Instagram, Facebook, TikTok, LinkedIn