KUE LEBARAN
Mungkin ini sudah menjadi kebiasaan para orang tua, emak-emak dan remaja putri kalau bikin kue lebaran. Tidak di Makassar, juga tidak di Jakarta. Sama saja. Contohnya istri saya.
Saat istri selesai bikin kue Nastar, putrinya (Fifi) mau cobain kue bikinan mamanya. Saya juga jadi ikut ngiler, maklum karena susu hangat di atas meja saya, memang belum ada "musuhnya". Tapi....
"Ntar dulu Fi, Pah. Saya masukin dulu semua kue Nastarnya ke toples. Nanti kue yang jelek, yang gosong, hangus, dan yang patah-patah, itu aja yang dicobain...".
Saya ngakak tak kuat menahan tawa. Ingat waktu kecil, saat ibu saya (almarhumah) juga begitu. Kue hancur, patah, hangus saja yang bisa dibagi.Â
"Kue yang utuh hanya untuk para tamu nanti kalau lebaran, jadi harus tetap utuh di dalam toples," katanya hehe..
Nah, giliran lebaran tiba, semua toples kue lebaran yang berbaris rapih di atas meja, dibuka tutupnya ketika tamu datang dan bersilaturahmi.
Dasar saya yang masih anak-anak ketika itu, saya menyambut suasana pembukaan tutup toples kue tersebut secara "lebaran" pula. Maksudnya, "tersenyum lebar" karena ini kesempatan mencicipi kue lebaran buatan ibu.
Yang terjadi, tamu belum mencicipi kue lebaran buatan ibu, tapi saya sudah tancap duluan. Meski ibu sudah mengedipkan mata sebagai tanda karangan, tapi operasi sapu bersih isi toples yang saya lancarkan, tidak terganggu hehe...
Putri saya Fifi juga berbagi cerita. Katanya, ketika masih kuliah di Makassar, dia sering bantu tante-tantenya bikin kue lebaran. Lagi-lagi, masih begitu juga pesannya soal kue lebaran.