SUATU hari, saya menerima pesan singkat melalui Whats'app. "boleh gak saya undang jadi pembicara?". Ha? Pembicara?
Begitulah biasanya. Mereka meminta saya untuk menjadi narasumber di satu pelatihan jurnalistik. Lebih pas, "kursus kilat" pengenalan dasar jurnalistik.
"Assalamu'alaikum bang, semoga dalam keadaan sehat. Ijin bang, adakah waktu untuk menjadi nara sumber? Insha Allah ada juga ayah kita (sambil menyebut nam orang), yang adakan kegiatan ini adalah komunitas di Kabupaten Lebak".
Itu dari pesan singkat dari komunitas guru. Pada kesempatan lain, ada juga permintaan yang datang dari organisasi siswa tepatnya dari salah satu SMK di Kota Bekasi.
"Bang Nur, Sehat? Saya mau dong Abang ngasih materi jurnalistik dasar yang buat anak sekolah. Power point ya. Yang mana kek buat bahan ngobrol sama anak-anak sekolah. Suwun".
Sebagai praktisi media, jelas kalau saya tidak bisa menolak. Apalagi setelah masa pandemi ini. Pelatihan tidak lagi tatap muka (offline), tapi lebih banyak melalui online. Atau populer daring dan webinar.Â
"Tapi jangan pakai istilah mentor, pemateri atau narasumber deh. Saya lebih suka kalau disebut berbagi pengalaman," kata saya setiap kali diminta jadi pembicara.
Maksud saya, kalau sekedar berbagi pengalaman, tentu tidak perlu hebat-hebat banget materilnya, gak pakai slide-lah. Cukup "ngoceh" saja, "ngecap" sebagai "wartawan bangkotan" selama 40 tahun di media cetak. Sisanya ya tanya jawab. Nah, itu saya suka hehe...
Lalu, saya bela-belainlah menyusun sedikit materi paling dasar: pengenalan jurnalistik. Bongkar-bongkar buku-buku di perpustakaan pribadi di rumah. Kutip sana, kutip sini sebagai literatur pendukung.