Pekerjaan wartawan itu gak gampang loh. Harus siap bekerja di bawah tekanan. Dari tekanan pimpinan dan redaktur di kantor, hingga tekanan dalam mengejar deadline. Yakni batas akhir pemuatan atau setor berita.
Kalau ditanya apakah pernah memiliki rekan kerja yang gemar bergosip? Atau teman semeja yang selalu merasa dizalimi oleh bos setiap kali diberi penugasan? Atau atasan yang suka melempar tanggung jawab?
Wah, itu semua ada dan pernah saya alami di dunia wartawan. Istilahnya berada di lingkungan lingkungan kerja toksik. Saya mulai mengenal dunia tulis menulis -- cikal bakal menjadi wartawan -- sejak di bangku Sekolah Dasar (SD).Â
Saya terus terang senang dengan pelajaran bahasa Indonesia saat disuruh mengarang cerita. Ikut lomba antar kelas. Bahkan pernah juara mengarang antar sekolah se kabupaten Maros, Sulsel.
Dari kemampuan menulis ini, kemudian timbul keberanian untuk mengirimkannya ke media. Alhamdulillah dimuat dengan honor yang lumayan buat nambah uang jajan hehehe...
Dari mengirim puisi, cerita anak, cerpen remaja, berbagai artikel untuk dimuat di koran daerah saya di Makassar Sulawesi Selatan. Namanya harian Pedoman Rakyat (PR), koran tertua di Indonesia Timur yang kini sudah almarhum.
Setelah tamat Pendidikan Guru Agama (PGA, setingkat SMA), makin rajin menulis di koran daerah. Sampai kemudian ada penerimaan wartawan. Saya coba melamar dan diterima (1980).
Sempat menjalani 2 tahun, lalu pindah ke koran terbitan Jakarta (grup Pos Kota) yang mencari koresponden, atau wartawan daerah yang menulis untuk koran terbitan Jakarta (Nasional). Itu terjadi 1980-1984.
Waktu saya masih koresponden di Makassar dan bantu-bantu ngedit berita wartawan sebelum dikirim ke Jakarta, gaji saya waktu itu  sudah Rp150.000.
Eh begitu pindah ke Jakarta bergabung di Redaksi di Jakarta, gaji pertama saya di Harian Terbit tahun 1984 cuma Rp55.000/bulan. Bukannya naik tapi malah turun hahahahaha....
Tapi Alhamdullah, ada kebanggaan lain. Status kewartawanan saya naik. Dari semula wartawan daerah (koresponden), naik menjadi wartawan ibukota. Preeettt...hehe
Surat Peringatan dan Mutasi
Teman saya di kantor redaksi di Jakarta, Abdul Ghofur, pernah mengingatkan. "Bang Nur, ceritera lanjutan kan pernah dapat surat peringatan, coba deh kita tunggu ceritanya," katanya bercanda.
Saya kemudian menjawab, mencoba meluruskan. Bahwa selama saya di Terbit, lebih banyak menerima surat mutasi penugasan/pemindahan pos liputan dari pada surat peringatan (SP). Baik mutasi di lapangan maupun mutasi redaktur bidang di kantor.
"Saking banyaknya SK mutasi penugasan, terkadang surat penugasan tersebut belum saya antar ke bagian humas, sudah dikasih lagi surat mutasi penugasan ke pos liputan lain," kata saya sambil tertawa.
Repotnya, surat mutasi itu kebanyakan saya terima pada saat menjelang lebaran. Kebayang dong serba salahnya. Jadi di tempat pos liputan lama sudah dihapus jatah THR-nya karena dimutasi, sementara di tempat baru (pos baru) belum masuk daftar nama wartawan di pos baru tersebut. Akhirnya gigit jari, gak dapat THR hahahaha....
Beda lagi ceritanya kalau bicara soal izin cuti. Waktu itu ceritanya mau isi  mudik ke Makassar naik kapal laut. Dapat izin cuti 7 hari dari kantor, tapi baru bisa masuk kerja setelah 14 hari. Pasalnya perjalanan ditempuh 2 hari 3 malam, jadi PP hampir 5 hari. Praktis cuma 1 hari di kampung karena waktu tersita lebih banyak di perjalanan.Â
Waktu itu belum banyak kapal laut, jadi harus menunggu jadual kapal hingga seminggu yang berlayar ke Irian (Papua). Setelah itu baru balik lagi ke Jakarta. Nah saat transit di Makassar itulah barulah bisa ikut balik berlayar ke Jakarta hahaha...
Soal aturan tata terbit dan disiplin sebagai karyawan, juga ada ceritanya. Kerja di bawah tekanan memang bikin kesal, apalagi sudah menyangkut rasa keadilan dalam soal hak dan kewajiban sesama karyawan.Â
Saya merasa pernah diberlakukan  tidak adil. Misalnya soal izin cuti atau pengajuan pinjaman buang di kantor. Ketika teman L, saya, A, Z, D "dikaryakan" di  salah satu tabloid (masih media grup satu manajemen), saya sempat ribut dengan PU/PP dan Pemred di rapat redaksi.Â
Pasalnya, saat teman L izin cuti karena (lupa waktu itu, cuti hamil apa melahirkan), dibolehkan sama PP dan Pemred. Begitu juga R (bagian layout/foto cover) dan Z mengajukan pinjaman uang dan potong gaji, eh mereka semua dikabulkan.Â
Giliran saya mau minta cuti, mau minjam uang, gak boleh. Saya ngamuk di rapat. Bos kami Pak H dan Pak Z marah, lalu mengembalikan saya lagi ke media pertama dan diusulkan untuk dipecat. Untung waktu itu Pak D (Pemred Terbit) menerima saya kembali hahahaha.....
Saat Media Bubar
Ini juga terulang ketika saya "dikaryakan" di koran P, masih grup media yang satu menejemen. Saya bergabung dengan wartawan dari sesama grup.Â
Ketika koran P tutup karena dianggap merugi, wartawan lain di koran P bisa "berlenggang" ramai-ramai balik ke kantor redaksi masing-masing. Sementara saya harus berjuang untuk diterima kembali di koran Terbit. Bahkan sempat ditolak karena posisi di media asal sudah ditempati teman lain hahahaha....nasib..nasib.
Ya begitulah. Perjalanan panjang saya sebagai wartawan (dari mulai koresponden di Makassar hingga pensiun dini di Jakarta karena koran dijual Januari 2014).Â
Tapi saya ambil hikmahnya saja. Bahwa ditengah suasana kerja dalam situasi di bawah tekanan, sudah saya tuliskan pengalaman saya itu dan jadikan dalam bentuk 2 judul buku : "Wartawan Bangkotan" (YPTD 2020) dan "Lika-Liku Kisah Wartawan" (PWI Pusat 2020).Â
Maaf nih teman-teman pembaca Kompasiana, sekalian saja saya promosi di sini ya...hehehe..Terima kasih. Salam Kompasiana (Nur Terbit)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H