"Pertemuan sepakat untuk merencanakan diselenggarannya Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Pribumi, sebagai langkah memperjuangkan Film Indonesia menjadi tuan rumah di negeri sendiri," kata Kusumo Priyono.
"Kami memakai istilah pribumi, karena kenyataannya Film Indonesia masih dijajah oleh film asing. "
Pertemuan FPMP juga menegaskan kembali komitmennya terhadap Pernyataan Sikap yang disampaikan pada 30 November 2016 (tahun lalu), yaitu memperjuangkan hak peran serta masyarakat dalam perfilman, lindungi Film Indonesia dari konspirasi, pertahankan peruntukan fasilitas perfilman, awasi dana APBN untuk penyelenggaraan perfilman, serta laksanakan amanat Undang-undang Perfilman.
Tentang pernyataan sikap yang mengkritisi BPI, Rully Sofyan dari Asosiasi Rekaman Film dan Video (Asirevi), menjelaskan, pada prinsipnya BPI dibentuk dan hadir adalah untuk menjalankan amanat dari stakeholders perfilman.
"Kami melihat, hampir setahun bekerja, yang dilakukan BPI tidak amanah," kata Rully Sofyan.
Dalam pertemuan itu, semua pihak sepakat untuk menindaklanjuti gerakan moral ini menuju tahap-tahap yang kongkret, konstruktif, dan bermartabat.
Selain merencanakan Kongres Peranserta Masyarakat Perfilman Pribumi, FPMP juga berharap bisa berkomunikasi dengan menteri yang membawahi perfilman serta dengan Komisi X DPR-RI.
"Semua ini adalah wujud peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan perfilman yang dijamin oleh undang-undang," kata Akhlis Suryapati yang mengatur jalannya bincang-bincang dalam pertemuan FPMP tersebut.
"Tentu saja ini sikap kepedulian yang baik bagi penyelenggaraan perfilman. Karena ada kutipan dialog dalam sebuah film; kalau orang baik diam, kejahatan merajalela." (lim) ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H