Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Petualangan Seru Para Blogger Bersama Suku Asmat

31 Maret 2013   10:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:57 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia bukan Bali saja yang dikenal ke seluruh dunia sebagai suku bangsa yang berbakat alam seni pahat, melainkan juga suku Asmat. Untuk mengenal suku Asmat dan seni budayanya, tak usah jauh-jauh kita ke Papua. Cukup ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) bagi orang Jakarta dan sekitarnya, yaitu ke Museum Asmat. "Di sini (TMII, pen) terdapat berbagai benda-benda asli dari suku bangsa berbakat seni yang tak pernah terpisahkan dari segala kehidupan mereka itu," kata Hazmi Srondol, Super Admin Blogger Reporter Indonesia (BR_ID) saat jumpa di TMII, medio Maret 2013 lalu. Hari itu, pria humoris pemilik akun SRONDOL NEWS ini memang tidak sendiri ke TMII. Ayah dengan dua putra ini sekaligus memboyong sekitar 60_an "pasukannya" untuk mengikuti hajatan KOMPETISI BLOG dengan tema "Museum Di Hatiku". Acara lomba sekaligus kopi darat antar blogger anggota BR_ID -- komunitas para penulis blog -- ini kerja sama IM2 Indosat dengan TMII. Sebelum kompetisi blog -- juga lomba nge-twit dan lomba foto digelar -- para peserta diajak oleh panitia mampir ke Museum Indonesia. Mereka yang membawa kamera atau handphone yang dilengkapi kamera, langsung narsis di depan museum sambil mengabadikan diri masing-masing. "Kalau saya selain untuk dokumentasi, mengambil gambar sekalian stok lomba foto," kata "Datuk" Dian Kelana, pria penggemar fotografi asal Minangkabau yang dikenal sebagai "ayah blogger" ini. "Beda dengan saya kali pak, cuma mau upload di facebook hehe....," goda saya sambil mencoba tabled anroid pemberian relasi. Ketika tiba di Museum Asmat, kami disambut Pak Burhan dari PT Indosat Area Jakarta, Pak Hari Gunung Widodo dari kantor pusat Indosat, Pak Prayogi Manager IM2 dan Bu Erna Kurniawati Sales Marketing IM2 Indosat. Berbagai wejangan diberikan kepada peserta. Misalnya, "Kita gak usah berkecil hati. Meskipun kepemilikan Indosat itu mayoritas asing (Qatar), tapi karyawannya masih tetap hatinya merah putih," kata Mas Prayogi, Manager IM2, disambut tepuk tangan. Pak Hari Gunung Widodo, juga ikut menimpali. Dunia ini, kata beliau, sudah bergerak ke dunia maya, percayalah kita bakal tertinggal jika tidak ikut  menyesuaikan diri. Itu sebabnya, Pak Gunung melalui mitra bisnisnya, menggandeng TMII membangun jaringan berupa akses internet dari areal wilayah "miniatur" Indoesia ini. "Hanya dalam kurun waktu 6 bulan, Indosat lewat IM2 berhasil memasang akses Super Wifi di 97 titik anjungan TMII. Nah siapa in pengunjung TMII, akan bisa melaporkan situasi melalui sarana IT mereka dengan mengupdate informasi ke ke seluruh dunia," kata Pak Gunung, sambil memuji acara yang digagas komunitas Blogger Reporter Indonesia (BR_ID) ini. Dari pihak "tuan rumah", Arief Djoko Budiono, Koordinator Museum-Museum TMII, juga memberi apresiasi terkait acara kopdar bertema "Museum di Hatiku" ini. Alasannya, TMII berfungsi sebagai lembaga yang memberi "perlindungan, pelestarian dan pengembangan budaya". Kata Pak Djoko, pihaknya sedang mengkampanyekan programnya yakni "Berbudaya wisata untuk berwisata budaya". Kenapa kalau gak ke mal terasa jengah, kita coba supaya perasaan seperti itu juga terjadi kalau berwisata ke museum untuk wisata budaya". Memperingati Ultah 38 TMII di 20 April 2013, TMII memiliki jumlah museum terbesar sebagai wujud inspirasi kebudayaan bangsa. Koleksinya lengkap, ada rumah peninggalan para pahlawana seperti rumah Cut Mutiah yang masih asli, kereta yang pernah dipakai Bung Karno ketika masa perjuangan, juga bekas penanaman pohon beringin Sri Paus, disamping ada qur'an terekcil. "TMII sudah ditetapkan sebagai museum terbanyak dan terbesar di dunia. Hingga kini tercatat memiliki 150 rumah adat, 18 museum, juga masuk nominasi cagar budaya bangsa, " katanya. Saat ini sedang dibangun Museum Cheng Lo, Museum Batik Nusantara, Museum Musik Nusantara. MUSEUM ASMAT Sebagai tempat wisata dan pusat informasi budaya, TMII telah memilih lokasi Museum Asmat cukup strategis. Yaitu di dalam areal Taman Bunga Keong Emas berbatasan dengan Dunia Air Tawar. Sehingga untuk mencapai lokasi tersebut kita melewati hamparan rumput hijau dan taman bunga beraneka warna. Juga dekat kolam dengan pemandangan dan suara gemericik air mengalir serta kecipak ikan sedang berebut makanan. Mirip lokasi permukiman Suku Asmat di alam sesungguhnya yang selalu berada di tepi pantai atau tepi sungai di pedalaman Papua selatan. Dari pintu II TMII tinggal belok kanan setelah melewati tempat parkir Keong Emas. Setelah sampai Taman Bunga tinggal masuk dengan tiket Rp5.000 per orang sudah termasuk menikmati keindahan taman seluas sekitar 6 ha dengan bunga berbagai rupa dan warna . “Taman ini sangat digemari Almarhumah Ibu Tien Soeharto, penggagas TMII ini,” ujar Nunu Suyono, karyawan TMII. Dari jauh tampak tiga bangunan besar setinggi 25 meter berujud rumah budaya Papua kari wari dengan atap kerucut melebar susun tiga. Itulah Museum Asmat. Walaupun bukan rumah budaya Asmat, namun ornament ragam hiasnya seluruhnya khas asli Asmat. Menurut Koordinator Museum-Museum BPP TMII Arief Djoko Budiono , bangunan museum yang sudah berumur 26 tahun itu baru saja selesai direvitalisasi sejak tahun lalu. Rencananya akan menjadi tempat upacara pembukaan Bulan Peringatan HUT ke 38 TMII awal April mendatang. Memang bangunan seluas 6.500 m2 itu memangku plaza yang cukup luas sekitar 5000 m2. PERALATAN ANTIK Benda budaya Asmat beraneka ragam, dari terompet bambu yang dinamakan fu, perisai atau saloako, tas yang disebut esse atau noken dan tifa yang dalam bahasa Asmat disebut em. Bila benda tersebut dibuat dari kayu, selalu diperindah dengan ukiran dan diwarnai. Namun dalam khasanah Asmat hanya ada tiga warna yaitu merah, putih dan hitam. Untuk warna merah dibuat dari tanah dicampur air, putih dari bubuk kerang, sedang warna hitam dari arang. Tifa (em) Asmat terbuat dari kayu dengan berbagai ukuran dan selalu diukir. Yang kecil dan sedang setinggi 50 sampai 70 cm berbentuk dandang ramping dengan pinggang lebih ramping. Tutupnya sebagai penghasil suara ketika ditabuh dari bahan kulit biawak. “Untuk menempelkan kulit digunakan perekat dari getah dicampur darah manusia,” tutur Caing. Ini dikarenakan tifa selalu ditabuh dalam setiap upacara adat Asmat seperti dalam upacara mbismbu, yaitu uparaca pembuatan mbis , patung atau totem Asmat. “Menabuhnya seperti ini,” kata lelaki Jakarta ini sambil mengepit em di antara kedua pahanya menabuh gendang ramping itu sambil mulutnya bersuara : huuuuu, huuuu seperti biasanya etnis Papua. Caing sendiri yang hobi memahat juga membuat tifa besar setinggi 180 cm dari pohon flamboyant TMII yang tumbang beberapa tahun lalu. Walaupun dipajang di Gedung C, tifa flamboyant tersebut tak termasuk 1.113 benda koleksi budaya masyarakat Asmat di museum itu. *** Salam, Bang Nur (Nur Aliem Halvaima) email: nurdaeng@gmail.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun