Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Lebaran di Atas Kapal: Berlayar ke Kota Makassar (3)

21 Agustus 2013   17:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:01 3825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_260868" align="alignnone" width="612" caption="Massalembo (dok Akbar)"][/caption] GANASNYA ombak menjadi hal biasa saat berlayar menuju Makassar. Ombak besar ini biasanya terasa ketika melintasi perairan Kepulauan Massalembo, tempat tenggelamnya KM Tampomas II, yang menewaskan ribuan penumpang termasuk kapten kapalnya, Capten Rivai. Kapal jenis Ro-Ro yang dibeli pemerintah Indonesia cq PT Pelni dari galangan kapal di German ini, terbakar kemudian karam di laut lepas di sekitar Perairan Massalembo. Sebelum tenggelam di perairan Massalembo, KM Tampomas II mengangkut ribuan penumpang, termasuk memuat puluhan mobil, dalam pelayaran dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta menuju Pelabuhan Soekarno Hatta Makassar. Perairan Massalembo yang dilintasi jalur kapal yang berlayar dari Tanjung Priok-Makassar, atau sebaliknya Makassar-Tanjung Priok, memang dikenal ganas ombak. Tinggi gulungan ombaknya bisa setinggi hotel berbintang, sehingga sangat dikenal oleh para ABK kapal maupun penumpang setia kapal PT Pelni. Mungkin karena ombaknya ganas, atau karena kapal lagi melintasi "perairan angker" tempat tenggelamnya KM Tampomas II, sudah jadi tradisi kalau para ABK meminta penumpang berdoa saat melintasi perairan Massalembo. Kapal laut Pelni yang saya tumpangi, melintasi perairan ini saat tengah malam buta. Ada rasa galau, rasa khawatir, suasana mencekam bercampur jadi satu. Buka puasa di kapal, terasa nikmatnya jika sambil ngabuburit di kantin kapal. Posisi kantin yang berada di anjungan, satu lantai di atas mesjid, membuat pandangan luas ke laut bebas. Ada juga penumpang yg sok akrab, nekad bergabung ke ruang kemudi kapal, tempat ABK & Mualim mengendalikan "restoran terapung" ini. Saya di antaranya yang beruntung ke ruang eksklusif itu. Tentu saja sambil wawancara. Mudik dengan kapal laut, butuh waktu berhari-hari. Pengalaman saya berlayar dari Jakarta-Makassar misalnya, menghabiskan waktu 2 hari 3 malam di laut baru kapal sandar di Makassar. Karena itu, jika mengejar lebaran dan sholat Idul Fitri di kampung, minimal harus milih kapal yang berlayar pada H-4 atau H-5. Salah perhitungan, bisa2 lebaran di atas kapal. Target ingin berlebaran dan sholat Idul Fitri bersama keluarga di Makassar, maka saya putuskan beli tiket kapal laut yang berlayar antara H-4 atau H-5. Tapi manusia hanya berencana, faktanya bisa meleset. Kapal yang seharusnya sudah sandar di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta, ternyata terlambat sehari karena harus mutar lagi dari Pelabuhan Dumai, Kijang, Sumatera, untuk menjemput TKI yang pulang mudik. Gara2 kapal mutar dulu ke Pelabuhan Dumai, Kijang hingga telat sehari sandar di Tanjung Priok, maka calon penumpang pun menumpuk di pelabuhan. Saya dan keluarga bahkan harus rela menginap di pelabuhan menunggu kapal. Biar gak repot harus balik lagi ke Bekasi. Akhirnya ruang tunggu jadi "asrama" dan bangku2 jadi tempat tidur bagi calon penumpang. WC-Kamar mandi pun fullhouse. Semalaman rasanya seperti tidur di barak pengungsian, hehehe... Nginap sehari di pelabuhan Tanjung Priok nunggu kapal sandar, membuat waktu perjalanan mudik ke Makassar sudah pasti makin panjang. Dari semula waktu pelayaran 2 hari 3 malam, praktis bertambah sehari lagi. Impian mau berlebaran di kampung bisa2 hanya tinggal cerita. Saran orang Pelni di loket pembelian tiket Kemayoran, ada benarnya. "Pulang kampung lewat laut lebih baik cari kapal yang berlayar lebih awal" Apa yang dikhawatirkan bakal lebaran di kapal, akhirnya benar2 terjadi. Saat bangun tidur di Subuh hari, takbir terus berkumandang dari speaker kapal. Nuansa lebaran pun segera menyebar ke sudut2 kapal hingga ke tempat tidur ekonomi. Seorg penumpang mencoba membangunkan. "Bangun.. bangun, kapal sudah sandar, jadi deh kita lebaran pak". Saya segera bergegas ke anjungan. Saya membaca tulisan menyolok di bawah sorotan lampu: "Pelabuhan Tanjung Perak". Ha? Jadi baru di Surabaya toh? Berarti sehari lagi baru sampai di Makassar? [caption id="attachment_260869" align="alignnone" width="612" caption="Antara Tanjung Priok - Makassar (dok Akbar)"]

1377089349443280358
1377089349443280358
[/caption] Kalau takbir sudah terdengar, rasanya sudah gak betah lagi berlama-lama di atas kapal laut. Pengen segera turun ke dermaga dan menyongsong ketupat lebaran, sop konro, sop saudara, pallubasa, coto makassar.....hahaha.. Lebaran di atas kapal laut, adalah pengalaman berkesan saat berlayar di akhir-akhir bulan Ramadhan. Ini mengingatkan kejadian serupa ketika saya dan keluarga mudik beberapa tahun silam. Kapal mampir lbh dulu di pelabuhan Batu Licin, Kalimantan, baru kemudian ke Tanjung Perak Surabaya, selanjutnya pelayaran diteruskan ke Soekarno-Hatta Makassar. Maka lebaran pun terpaksa di atas kapal dalam pelayaran ke Batu Licin. Tak pernah terlintas dlm pikiran, koq bisa berlebaran di atas kapal laut? Ini sama dengan kejadian ketika kapal tertunda sehari karena menjemput TKI yg pulang mudik lewat pelabuhan Dumai, Kijang. Maka ketika harus berlebaran di atas kapal dalam pelayaran ke Batu Licin pun, suasana dan nuansa lebaran tak kalah khidmatnya. Dari jauh, Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar sebagai tujuan terakhir pelayaran dari Tanjug Priok Jakarta, sudah terlihat jelas ketika kapal melintasi Pulau Kahyangan. Lampu mercusuar dan silau cahaya Kota Daeng ini, menembus ke anjungan tempat penumpang berdiri. Inilah pengalaman sangat berkesan karena selain berpuasa Ramadhan di atas air, juga sekaligus berlebaran di atas kapal laut. Semoga bisa bertemu lagi dengan Ramadhan tahun depan. "Mau dibantu diangkat barang2nya?," kata buruh Pelabuhan Makassar menawarkan jasa. Saya mengangguk dan mengikutinya turun dari tangga kapal. (Selesai) tulisan terkait:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun