Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berkaryawisata Dengan Naik KA ke Museum Tekstil Jakarta

3 Maret 2012   04:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:35 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BERWISATA berombongan dengan bus merupakan hal  biasa. Tapi  dengan kereta rel listrik (KRL) termasuk luar biasa. Itulah yang dilakukan rombongan para siswa SD Negeri Serpong 2 dan SD Negeri Cilenggang 5, Sabtu (25/2) lalu. Apalagi mereka dijemput Indra Riawan, pimpinan obyek wisata edukatif rekreatif yang sedang mereka tuju, yaitu Museum Tekstil Jakarta. Tidak itu saja, mereka pun diberi penjelasan dan dilepas oleh  Pemimpin Perjalanan Kereta Api (PPKA) stasiun Serpong, Ade Krisna. Tepat pukul 09.05 WIB KRL dari Serpong rombongan berangkat. Staf Musuem Tekstil Jakarta, Ny. Misari mengajak 100 orang siswa dari dua SD bersama 8 gurunya itu bernyanyi bersama sama. Terdengarlah suara gembira dengan  lagu kanak-kanak tempo dulu. “Naik kereta api,.. tut…tut..tut..Siapa hendak turut. Ke Bandung …Surabaya…”. Tiba tiba ada yang menukas,  “Tapi sekarang kita bukan ke Surabaya. Kita ke Tanah Abang.” Dengan spontan, Misari pun mengubah syairnya.  Terdengar lagi anak anak bernyanyi. “Naik kereta api,..tut..tut..tut..Siapa hendak turut. Ke Serpong –Tanah Abang…Bolehlah naik dengan percuma. Ayo kawanku lekas naik, keretaku tak berhenti lama.” Dalam  satu gerbong nomor dua dari belakang tampak anak anak berseragam dirangkap dengan baju kaos kuning begitu gembira. Dengan tertib tasnya ditaruh di atas rak bagasi. Seorang Staf Pusat Pelestarian Benda Bersejarah PT Kereta Api Indonesia, Lukman menjelaskan, perjalanan dari stasiun Serpong ke stasiun Tanah Abang memakan waktu sekitar 40 menit dengan berhenti di beberapa stasiun. Meskipun dalam lagu yang mereka nyanyikan disebut boleh naik dengan percuma atau gratis, tetapi secara reguler setiap naik KA harus memiliki karcis. Para penumpang dilarang naik di atap maupun bergelantungan di pintu gerbong. Juga dilarang mengotori kereta dengan sampah makanan dan barang apapun. “Rel  yang kita lewati ini buatan Belanda pada zaman penjajahan. Sedangkan gerbong keretanya buatan Jepang zaman sekarang,” tutur Lukman.   Seorang relawan museum, Sumaryono menjelaskan sejarah toponimi kota Serpong dan Tanah Abang. “Serpong berasal dari semprong, alat untuk meniup api agar membesar yang digunakan para ibu di dapur pada zaman dulu,” ujarnya. Sedangkan sejarah toponimi Tanah Abang ada dua versi. Versi pertama karena tanah di daerah itu berwarna merah, sehingga orang-orang Mataram menyebutnya Tanah Abang. Sedangkan versi kedua di tempat itu ada dua orang bersaudara. Si adik diizinkan membangun rumah di atas lahan abangnya. Maka ketika ditanya tinggalnya, ia mengatakan di Tanah Abang. Sambil mendengarkan cerita yang dilanjutkan bermain lagu dengan kata-kata berkait, tak terasa rombongan wisatawan cilik itu sudah sampai di stasiun Tanah Abang. Dengan berbaris mereka berjalan kaki menuju Museum Tekstil di Jl Aipda KS Tubun yang berjarak sekitar 250 meter. Tampak grup tanjidor Putra Mayangsari dari Cijantung, Jakarta Timur menyambutnya dengan lagu Betawi “Sirih Kuning” dan “Lenggang Kangkung”. Sedangkan di halaman belakang disuguhkan Orkes Keroncong Tugu dari Jakarta Utara  dengan beberapa pemain dan penyanyi dari dua generasi, ayah dan anak. Usai foto bersama di tangga Museum Tekstil,  rombongan masuk gedung pameran utama. Di situlah kepada mereka  dijelaskan sejarah gedung antik tersebut dan diresmikannya sebagai museum dengan koleksi ribuan kain adat dan batik  dari abad silam sampai zaman kontemporer. Termasuk juga alat tenun bukan mesin, disusul berdirinya organisasi para pecinta kain adat dari seluruh Nusantara yang bernama Wastra Prema. Akhirnya masuk sessi workshop atau pelatihan singkat membuat kain ikat celup yang bahasa kerennya tie dye. Kalau dalam bahasa Jawa lebih dikenal dengan kain jumputan. (aliem) salam, http://aliemhalvaima.blogspot.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun